Rabu, 09 April 2014

SEJARAH HADIS MASA KODIFIKASI




A.    Pendahuluan
Hadis merupakan sumber ajaran yang ke-2 dalam agama Islam setelah Al-Qur’an. Sebelum hadis ada tentu Al-Qur’an lebih dulu adanya, begitupun dengan penulisan dan pembukan, Al-Qur’an lebih dulu ditulis dan dibukukan dibandingkan hadis. Hal ini dikarenakan, salah satu fungsi hadis adalah menjelaskan apa yang belum jelas dalam Al-Qur’an, dan ada larangan untuk membukukan Al-Qur’an dan hadis dalam waktu yang sama, karena khawatir akan bercampurnya antara Al-Qur’an dan hadis.
Penulisan Al-Qur’an sudah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad SAW, dan dibukukan pada masa khalifah Usman bin Affan, sedangkan penulisan hadis kabarnya juga sudah ada pada masa Nabi, namun pembukuannya pada masa tabi’in. lalu, apakah benar demikian adanya atau penulisan dan pembukuan hadis dilakukan pada waktu yang sama yakni masa tabi’in ?. Sedangkan pada abad pertama Hijrah, mulai dari zaman rasul, masa khulafa rasyidin dan sebagian besar zaman Amawiyah, hingga akhir abad pertama Hijrah, hadits-hadits sudah ada yang berpindah dari mulut ke mulut. Masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada kekuatan hafalannya. Pada masa itu mereka belum mempunyai motif- motif yang menggerakkan mereka untuk membukukannya.
Dari pernyataan dan pertanyaan di atas, maka dalam makalah ini pemakalah akan mencoba membahas kapan sebenarnya pembukuan hadis dimulai, apa saja upaya yang dilakukan, bagaimana hasilnya dan bagaimana pula perkembangannya ?  
B.     Pembahasan
1.      Pengertian kodifikasi ( Al- Tadwin) dan penulisan (Al-Kitabah), serta perbedaan antara keduanya
Ada dua istilah yang sering ditemukan dalam literature ilmu hadis yang dipakai untuk arti menulis hadis. Yakni, istilah tadwin dan kitabah. Secara operasional keduanya memiliki pengertian yang berbeda.
Istilah tadwin menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, dari kata dawwana-yudawwinu yang berarti penyusunan yang berserakan, pengumpulan, penilaian, peraturan dan perundang-undangan.[1] Dalam bahasa popular disebut kodifikasi. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris, codification yang berarti penyusunan secara sistematis.[2]
Menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kodifikasi diartikan sebagai hal penyusunan kitab perundang-undangan.[3]
Selain itu, Dr. Muhammad ibn Mathar Al- Azharani mengatakan bahwa pengertian tadwin adalah sebagai berikut :[4]
تَقْيِيْدُ الْمُتَفَرّقِ الْمُشَتَّتِ وَ جَمْعُهُ فِيْ دِيْوَانٍ اَوْ كِتَابٍ تَجْمَعُ فِيْهِ الصُّحُفُ
mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran.”
Menurut Munzier Suparta, tadwin adalah pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala Negara, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dibidangnya. Bukan yang dilakukan secara perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada Rasul SAW.[5]
Sedangkan Manna’ Al-Qattan memberikan definisi tadwin tersebut sebagai berikut :[6]
التدوين فإنه جمع المكتوب من الصحف و المحفوظ في الصدور و ترتيبه حتى يكون في كتاب واحد.
Tadwin maka sesungguhnya mengumpulkan tulisan dalam lembaran-lembaran dan hafalan-hafalan yang ada dalam dada, kemudian menempatkannya secara sistematis dalam sebuah buku.”  
Adapun istilah kitabah berasal dari bahasa Arab, kataba- yaktubu, kitaban, kitabatan yang berarti menulis kitab.[7] Manna’ al-Qattan memberikan definisi kitabah adalah proses  untuk seseorang yang menulis sebuah shahifah atau lebih. [8]
Tentang hal ini , A. Rahman Ritonga, mendefinisikan kitabah berarti penulisan yang dilakukan oleh sahabat secara diam-diam berdasarkan inisiatif pribadi untuk kepentingan diri sendiri. Pengerian kitabah yang lebih sistematik dan sederhana ialah penulisan hadis berdasarkan inisiatif yang dilakukan secara rahasia diatas pelepah tamar, tulang-tulang unta, dan benda-benda lain untuk kepentingan pribadi yang tersimpan dalam shahifah.[9]
Dari beberapa definisi tadwin dan kitabah di atas, maka terlihat adanya persamaan dan perbedaan antara keduanya.
Adapun persamaan antara keduanya ialah bahwa kegiatan menulis dengan sistem tadwin dan kitabah sama-sama bertujuan  memelihara keaslian hadis. Sedangkan perbedaan antara keduanya adalah :
1.      Tadwin dilakukan berdasarkan instruksi kepala Negara, sedangkan kitabah berdasarkan inisiatif pribadi.
2.      Tadwin dilakukan secara resmi, kitabah dilakukan secara diam-diam.
3.      Hasil tadwin berbentuk buku yang dilakukan oleh beberapa orang ahli/tim, sedangkan kitabah berbentuk shahifah dan dilakukan oleh perorangan

2.      Sejarah hadis masa kodifikasi
a.       Latar belakang ide pengkodifikasian hadis
Di kala kendali khalifah dipegang oleh ‘Umar ibn Abd Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H. seorang khalifah yang terkenal adil dan wara ini, berniat untuk membukukan hadis. Beliau sadar bahwa para perawi yang membendaharakan hadis dalam dadanya, kian lama kian banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila hadis- hadis itu tidak segera dikumpulkan dan dibukukan, maka akan lenyap begitu saja bersama meninggalnya para penghafal hadis. 
Adapun hal-hal yang melatarbelakangi sikap Umar ibn Abd Aziz mengirim perintah demikian adalah pertama, ia khawatir  terhadap hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir juga akan tercampurnya antara hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis yang palsu. Di pihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini. [10] hal ini tercantum dalam buku Ilmu Hadis karangan Drs. H. Mudasir. [11]
Selain dari faktor-faktor yang disebutkan di atas, Mustafa Muhammad al-Sa’id Abu ‘Imarah, dalam bukunya yang berjudul Al-Irsyad fi ‘Ulum al-Hadis, menambahkan bahwa faktor  yang melatarbelakangi munculnya ide pengkodifikasian hadis adalah karena hilangnya ‘ilat larangan dalam pembukuna hadis karena Al-Qur’an sudah melekat erat di dalam dada umat Islam dan mereka sudah mempelajari al-Qur’an dengan uslub-uslubnya, sehingga tidak khawatir lagi bercampurnya dengan hadis. Kemudian, faktor lainnya adalah terjadinya pembauran antara orang-orang Arab dengan orang-orang A’jam (non Arab), dimana mereka lemah dalam memahami bahasa Arab apalagi uslub-uslubnya.[12]
A. Rahman Ritonga, seperti yang dikutipnya dalam buku Dhuha al-Islam karya Ahmad Amin, menyatakan bahwa salah satu faktor  yang melatar belakangi munculnya ide pengkodifikasian hadis adalah adanya keinginan khalifah untuk mengetahui apa saja ajaran agama yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Sedangkan itu pada umumnya diriwayatkan melalui ingatan para sahabat. [13]
            Ada juga yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz hidup dalam iklim ilmiah yang sangat kondusif. Maka menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatihib pengarang buku Usul al-Hadis Pokok-pokok Ilmu Hadis, bahwa keinginan Umar untuk membukukan hadis dilatarbelakangi oleh semangat ilmiah tabi’in dan kebolehan yang mereka lontarkan untuk menulis hadis saat itu, yakni tatkala sebab-sebab pelarangannya telah sirna. Seandainya mereka tidak menyukainya, tentu mereka  tidak akan memenuhi panggilan beliau. Dan alasan yang tak bisa diragukan lagi adalah bahwa adanya kekhawatiran hadis akan terabaikan.[14]

b.      Upaya dan hasil yang dicapai
Untuk menghasilkan maksud mulia itu, Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz langsung menurunkan instruksi kepada seluruh pejabat di daerah agar melaksanakan gerakan penulisan hadis. Khalifah, secara khusus mengirim instruksi kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm.[15]
Pada referensi lain disebutkan, pada tahun 100 H khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm supaya membukukan hadits rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, yaitu : Amrah bint Abdir Rahman ibn Sa’ad ibn Zurarah ibn ‘Ades, seorang ahli fiqih, murid ‘Aisyah ra. Dan hadits- hadits yang ada pada Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr Ash Shiddieq, seorang pemuka tabi’y dan salah seorang fuqaha madinah yang tujuh ( Al-Qasim, ‘Urwah ibn Zubair, Abu Bakr ibn Abdir Rahman, Sa’id ibn Musaiyab, Abdillah ibn Abdullah ibn ‘Utbah ibn Mas’ud, Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit, dan Sulaiman ibn Yassar). [16]
Adapun isi instruksi Umar ibn Abd Aziz kepada Abu Bakr ibn Hazm ialah :
انظرو إلى حديث رسول الله صلى الله عليه و سلم فاكتبوه فإني خفت دروس العلم وذهاب أهله (وفي رواية ذهاب العلماء) ولا تقبل إلا حديث النبي صلى الله عليه و سلم
Perhatikanlah atau periksalah Hadis-hadis Rasul SAW. Kemudian tuliskanlah ! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama ( para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali Hadis Rasul Saw.” [17]
Senada dengan hal di atas, ada juga yang mengatakan bahwa usaha pembukuan hadits dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh khalifah Umar bin abdul Aziz ( khalifah ke delapan dari kekhalifahan Bani Umayah), melalui instuksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Kepada Abu Bakar ibn Muhammad ibn Amr ibn Hazm ( Gubernur Madinah), hanya saja disini tidak ada perintah membukukan hadits rasul yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal maupun seorang pemuka tabi’in dan salah seorang fuqaha madinah yang tujuh.[18]
Disamping itu ‘Umar juga mengirim surat-suratnya kepada  Gubernur ke serata wilayah yang di bawah kekuasaannya supaya berusaha membukukan hadits yang ada pada ulama yang ada di wilayah mereka masing-masing. Diantara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah itu adalah : Abu Bakr Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab Az Zuhry, seorang ahli dalam bidang fiqih dan hadits. [19]
Dan Abu Bakar Ibn Hazm tidak membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah. Membukukan seluruh hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh Al Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihah Az-Zuhry. Yang memang terkenal sebagai seorang ulama besar dari ulama-ulama hadis di masannya.[20]
Az- Zuhry adalah orang pertama yang mampu memenuhi keinginan Khalifah dengan menyusun satu naskah untuk Khalifah. Namun naskah ini masih amat sederhana, belum dapat diketegorikan sebagai buku hadis. Meskipun demikian, Az-Zuhry merasa bangga dengan karyanya itu. Hal ini diungkapnya dalam perkataan :[21]
لم يدون هذا العلم احد قبل تدوينى
“Belum ada seorang pun ahli hadis yang mampu membukukan hadis ini sebelum saya”
Menurut para ulama, hadis- hadis yang dihimpun oleh Abu Bakar ibn masih kurang lengkap, sedangkan hadis- hadis yand dihimpun oleh Ibn Syihab Az-Zuhry dipandang lebih lengkap. Akan tetapi, sayang sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap sehingga tidak sampai kepada generasi sekarang. [22]
Pembukuan hadis pada mulanya belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan ini kemudian banyak dilakukan oleh orang setelah Az-Zuhry dengan cara yang berbeda- beda, sebagian besar diantaranya mengumpulkan hadis Nabi SAW yang bercampur dengan perkataan sahabat dan fatwa para tabi’in. kemudian para ulama hadis menyusunan secara sistematis dengan menggunakan metode berdasarkan sanad dan berdasarkan bab.[23]
Akan tetapi tidak dapat diketahui lagi, yang mula-mula membukukan hadis sesudah Az- Zuhry itu, karena ulama-ulama tersebut yang datang sesudah Az Zuhry seluruhnya semasa.  
Para pengumpul pertama hadis yang tercatat dalam sejarah :[24]
1.      Pengumpulan pertama di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H= 669 M- 150 H= 767 M)
2.      Pengumpulan pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (…H= 151 M-…H= 768 M) atau Malik ibn Anas (93 H= 703 M-179 H= 798M)
3.      Pengumpulan pertama di kota Bashrah, Al Rabi’ ibn Shabih (…H=…M- 160 H=777M), atau Sa’id ibn Abi Arubah ( 156 H= 773 M)
4.      Pengumpulan pertama di Kufah, Sufyan Ats Tsaury ( 161 H)
5.      Pengumpulan pertama di Syam, Al Auza’y ( 156 H)
6.      Pengumpulan pertama di Wasith, Husyaim Al Wasithy (104 H=772 M-188H= 804 M)
7.      Pengumpulan pertama di Yaman, Ma’mar Al Azdy ( 95 H=753M- 152 H= 770M)
8.      Pengumpulan pertama di Rei, Jarir Al Dlabby (110 H= 728 M- 188H= 804 M)
9.      Pengumpulan pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (188 H=735 M-181 H=797 M)
10.  Pengumpulan pertama di Mesir, Al Laits ibn Sa’ad ( 175 H)

Pada abad 2 Hijriah penghimpunan dan penulisan hadis beralih kepada penyusunan hadis ke dalam bab- bab, dan mengumpulkan satu bab dengan yang lainnya dalam satu “mushannaf” atau  “jami’”. Jadi awal abad 2 Hijriah bukanlah awal kodifikasi hadis, tetapi awal penyusunan karya-karya hadis. Karya- karya itu muncul dalam waktu yang berdekatan di berbagai pusat kegiatan ilmu di kawasan Islam. Kemudian muncullah musnad- musnad dan kitab- kitab shahih. Dengan demikian kodifikasi hadis telah melampaui berbagai tahap, sampai ke tangan kita melalui kitab- kitab shahih dan kitab- kiatb musnad.[25]  
Adapun proses kodifikasi hadis dan hasil yang dicapai, dalam buku Studi Ilmu-Ilmu Hadis, sebagai mana yang dikutipnya A. Rahman Ritonga pada buku Tadwin Al- Sunnah Al- Nabawiyah, Nasy’atihi wa tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’ al-Hijri  karangan Muhammad ibn Mathar Al- Azharani . secara rinci menjelaskan bahwa proses kodifikasi hadis adalah sebagai berikut:
1.      Kodifikasi hadis pada Abad ke-2 H
Di abad ke- 2 ini ada dua generasi yang terlibat dalam proses kodifikasi hadis yaitu :
a.       Shighar al-Tabi’in
Kehadiran generani tabi’in ini memiliki peran penting dalam membukukan hadis. Peranan mereka telah dimulai sejak pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Proses pembukuan hadis di masa mereka melalui tiga tahap, yaitu :
a)      Al-Jam’u yaitu menghimpun semua hadis yang ada dalam hafalan sahabat dan tabi’in serta catatan-catatan yang tertulis dalam shahifah mereka.
b)      Penelitian atau menyeleksi mana yang diyakini sebagai hadis dan mana yang merupakan perkataan sahabat dan tabi’in
c)      Penulisan, yaitu penulisan hadis pada satu buku yang menjadi pegangan bagi umat Islam secara keseluruhan.[26]
Pada referensi lain ditemukan bahwa, perkembangan usaha pembukuan hadis pada periode tabi’in ada 3 bentuk :
1.      Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tipa-tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah atau topiknya, tidak perbab seperti fikih, dan kualitas hadisnya ada yang shahih, hasan, dan dho’if. Misalnya, semua hadis Nabi yang diperoleh seseorang periwayat dari Abu Hurairah dikelompokkan pada bab hadis-hadis Abu Hurairah, hadis-hadis yang didapatkan dari Abdullah bin Abbas dikelompokkan pada bab Abdullah bin Abbas, dan seterusnya. Kitab hadis yang disusun secara musnad ini misalnya, musnad imam Ahmad bin Hambal (164-241 H), dan musnad Ahmad bin Rahawaih (161- 238 H)  
2.      Al-jami’, yaitu teknik pembukuan hadis yang mengkumulasi sembilan masalah yakni aqa’id, hukum, perbudakan (riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah, sifat-sifat akhlak (syamail), fitnah dan sejarah (manaqib). Misalnya kitab Al-Jami’ ash-Shahih li Al-Bukhari, Al-Jami’ ash-Shahih li muslim dan Jami’  Al-Tirmizi. Kualitas kitab Al-Bukhari dan muslim shahih semua sebagaimana nama kitab yang menyebutkan kata Ash-Shahih, sedangkan kitab Al-Tirmizi sama dengan kitab sunan, ada yang shahih, hasan dan dha’if
3.      Sunan, teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fikih, setiap bab memuat hadis dala satu topik. Seperti Sunan An-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan Abu Daud. Di dalam kitab ini ada yang shahih, hasan, dan dha’if akan tetapi tidak terlalu banyak dha’if seperti hadis munkar.[27]

b.      Tabi’ Tabi’in
Dalam silsilah periwayatan hadis,  tabi’ tabi’in merupakan generasi sesudah sahabat dan tabi’in. perkembangan pembukuan hadis pada masa ini adalah :
a)      Pembukuan hadis masih bercampur antara perkataan Nabi, sahabat dan  tabi’in
b)      Cara pembukuan dilakukan dengan penyatuan hadis yang sama dalam satu bab dan satu karangan
c)      Materi hadis yang dikumpulkan berdasarkan shufuf-shufuf, karena kertas dan catatan yang ditulis pada masa sahabat dan tabi’in.
d)     Di antara hasil pembukuan hadis yang terkenal pada masa ini adalah :
1)      Kitab al-Muwatta’ yang dikarang oleh Imam malik
2)      Al- Musnad, kitab hadis yang disusun dengan mencantumkan nama-nama sanadnya secara lengkap, seperti Musnad Abu Daud
3)      Al- Jami’ yang merupakan kitab hadis yang memuat delapan pokok masalah, yaitu akidah, hukum, tafsir, etika makan dan minum, tarikh, sejarah kehidupan Rasulullah, akhlak serta perbuatan baik buruk. [28]  
Berkaitan dengan hal di atas, ada juga yang menjelaskan bahwa para ulama abad ke-2 membukukan hadis dengan cara menyaringnya, yakni : mereka tidak membukukan hadis-hadis saja, fatwa-fatwa sahabatpun dimasukkan ke dalam bukunya, bahkan fatwa-fatwa tabi’in juga dimasukkan. Semua itu dibukukan dalam kitab yang sama. Maka terdapatlah dalam kitab- kitab itu hadits marfu’ hadits-hadits mauquf dan hadits-hadits maqthu’. [29]
2.      Kodifikasi hadis pada Abad ke-3 H
Abad ke-3 merupakan masa keemasan atau kemajuan dalam perkembangan ilmu pengetahuan Islam secara umum dan ilmu hadis secara khusus. Sebagian ulama memandang abad ke-3 inilah abad gerakan pembukuan hadis.
Banyak ulama yang melakukan rihlah dalam mencari satu hadis untuk dibukukan. Pembahasan mengenai rijalul hadis telah meluas sampai ke berbagai kota di jazirah Arab. Sehingga muncullah berbagai kitab diantaranya al- masanid, Kutub al-sittah, al-shihah dan al-sunnah yang menjadi pegangan dan rujukan para ulama dan umat Islam umumnya.[30]
Pada periode ini muncul pula huffazh  hadis dan juga kritikus atau ulama yang cemerlang dalam membahas dan menganalisis kebenaran suatu hadis. Diantara mereka adalah Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, Ali ibn al-Madini, Yahya ibn Mun’in, Abu Abdillah al-Bukhari, Abu Hatim al-Razi dan Muslim ibn Hujjah.[31]
Perkembangan hadis pada abad ini jauh lebih baik dari abad sebelumnya, karena para ahli hadis sudah memisahkan dan memilih hadis yang sahih saja dan menyusunnya menurut tema pembahasan. Selanjutnya dilakukan kodifikasi secara sistematis.
Kemudian muncullah ulama hadis terkemuka yang membukukan hadis secara sistematis, diantaranya :
1)      Imam Bukhari yang menyusun kitab Shahih al-Bukhari
2)      Imam Muslim yang menyusun kitab Shahih Muslim
3)      Abu Daud yang menyusun kitab Sunan Abi Daud
4)      Al-Turmudzi yang menyusun kitab Sunan al-Turmudzi
5)      Al-Nasa’I yang menyusun kitab Sunan al-Nasa’i
6)      Ibnu Majah yang menyusun kitab Sunan Ibn Majah
Keenam kitab tersebut di kalangan ahli hadis dikenal dengan al-kutub al-sittah yaitu kitab hais yang diakui memenuhi syarat standar untuk dijadikan rujukan hadis, karena di dalamnya sudah mewakili hadis-hadis yang ada pada kitab lain.[32]
Disamping lahirnya kitab kutubu sittah, juga muncul kitab-kitab hadits lain yang dianggap telah dapat memenuhi kebutuhan umat Islam terhadap hadits. Adapun kitab-kitab tersebut adalah :
1.      Al-Musnad, susunan Musa bin Abdillah al-Abasi
2.      Al-Musnad, susunan Musaddad bin Musarhad
3.      Al-Musnad, susunan Asad bin Musa
4.      Al-Musnad, susunan Abu Daud Ath-Thayalisi
5.      Al-Musnad,  susunan Nu’aim bin Hammad
6.      Al-Musnad, susunan Abu Ya’ala al-Maushili
7.      Al-Musnad, susunan al-Humaidi
8.      Al-Musnad, susunan Ali al-Madaidi
9.      Al-Musnad, susunan Abd bin Humaid
10.  Al-Musnad, al-Mu’allal, susunan al-Bazar
11.  Al-Musnad, susunan Baqi bin Makhlad
12.  Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih
13.  Al-Musnad, susunan Ahmad bin Hanbal
14.  Al-Musnad, susunan Muhammad bin Nashr al-Marzawi
15.  Al-Musnad, susunan Abu Bakr bin Abi Syaibah
16.  Al-Musnad, susunan Abu al-Qasim al-Baghlawi
17.  Al-Musnad, susunan Usman bin Abi Syaibah
18.  Al-Musnad, susunan Abu al-Husain bin Muhammad al-Masarkhasy
19.  Al-Musnad, susunan ad-Darimy
20.  Al-Musnad, susunan Said bin Manshur
21.  Tahdzib al-Atsar, susunan al-Imam Ibnu Jarir
22.  Al-Jami’ al-Shalih
23.  Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarad
24.  At-Thabaqah, susunan Ibnu Sa’ad[33]
Setelah abad kedua dan ketiga hijriah perkembangan pembukuan hadis tersebut terus berlanjut dengan lebih baik lagi serta semakin banyak hadis Nabi Muhammad SAW. Semua ini bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kelestarian hadis Rasul sebagai pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an.[34]
c.       Perkembangan usaha pembukuan hadis
Seperti diketahui bahwa abad ke-3 Hijriyah merupakan abad yang paling gemilang bagi perkembangan hadits. Pada abad tersebut lahir tokoh-tokoh dan imam-imam terkenal dalam periwayatan hadits. Mereka mengumpulkan dari hafalan-hafalan dari umat islam yang mempunyai informasi hadits, bukan menukilkannya dari kitab yang telah ditulis.
Adapun perkembangan hadis pada abad-4 H yaitu para ulama sangat memperhatikan sanad yang disusun oleh ulama hadits pada abad-3 H. Abad ini disebut juga dengan masa penghimpunan dan penertiban (Al-Jami’u wa al Tartib). Ulama mutaqaddimin menghimpun hadits Nabi dengan cara langsung mendengar dari guru-gurunya kemudian mengadakan penelitian sendiri baik dari matan dan sanadnya. Untuk itu mereka tidak segan-segan mengadakan perjalanan jauh untuk mengecek kebenaran hadits yang mereka dengar dari orang lain. Sedangkan ulama mutaakkhirin cara periwayatan dan pembukuannya bereferensi dan mengutip dari kitab-kitab mutaqaddimin. Oleh karena itu tidak banyak penambahan hadits pada abad ini, namun dari segi tekhnik pembukuan lebih sistematik dari pada masa-masa sebelumnya.[35]
Diantara kegiatan pengkodifikasian hadits pada periode 4-6 H adalah dalam bentuk mu’jam (Ensiklopedi), shahih (himpunan shahih saja), mustadrak (susunan shahih), sunan, Al-Jam’u (gabungan dua atau beberapa kitab hadits), ikhtisar (resume), istihraj, dan syarah (ulasan). Adapun perkembangan tekhnik pembukuan hadits pada abad ini yakni pada abad ke-4 sampai ke-6 H sebagai berikut :
1.      Mu’jam, artinya penghimpunan hadits yang diperoleh berdasarkan nama sahabat secara abjad (alphabet) seperti al-Mu’jam al-Kabir Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani, atau diartikan seperti kamus ialah penghimpunan hadits didasarkan pada nama masyafiknya atau negeri tempat tinggal atau kabilah secara abjad.
2.      Shahih, artinya metode pembukuannya mengikuti metode pembukuan hadits Shahiyun (Al-Bukhari dan Muslim) yang hanya mengumpulkan hadits yang shahih saja menurut penulisnya seperti Shahih Ibn HibbanAl-Basti.
3.      Al-Mustadrak, artinya menambah beberapa hadits shahih yang disebutkan dalam kitab Al-Bukhari dan Muslim serta menurutnya telah memenuhi persyaratan keduanya, seperti Al-Mustadrak ‘ala Al-Shahiyah yang ditulis Abi Abdullah Al-Hakim An-Naisaburi (w. 405 H).
4.      Sunan, metode penulisannya seperti kitab Sunan abad sebelumnya, yakni cakupannya hadits-hadits tentang tentang hukum seperti fikih dan kualitasnya meliputi shahih, hasan, dan dhaif, seperti Muntaqa Ibn Al-Jarud (w. 3-7 H), Sunan Ad-Daruqhutni (w. 385 H), dan Sunan Al-Bayhaqy (w. 458 H)
5.      Syarah, yakni penjelasan hadits baik yang berkaitan dengan sanad atau matan, terutama maksud dan makna matan hadits atau pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat atau dengan hadits lain, misalnya Syarh Ma’ani Al-Atsar, dan Syarah Musykil Al-Atsar ditulis Ath-Thanawi (w.321 H)
6.      Mustakhraj¸ ialah seorang penghimpunan hadits mengeluarkan beberapa buah hadits dari sebuah buku hadits seperti yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya mustakhraj Abi Bakr Al-Isma’il ‘ala Shahih Bukhari (w. 371 H)
7.      Al-Jam’u, gabungan dua atau beberapa buku hadits menjadi satu buku, Al-Jam’u Bayn Ash-Shahiyun yang ditulis oleh Isma’il bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnu Al-Furat (w. 401 H), Al-Jam’u Bayn Ash-Shahiyun ditulis Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghlawi (w. 516 H), At Tajrid li Ash-Shahah wa As-Shahah As-Sunan gabungan Shahiyun, Al-Muwaththa’, dan kitab sunan-sunan selain Ibnu Majah, ditulis Abu Al-Hasan Razin bin MuawiyahAs-Sirqisthi (w. 535 H) dan Jami’ Al-Ushul Ahadits Ar-Rasul yang ditulis oleh Ibnu Al-Atsir Al-Jazari (w. 606 H) gabungan enam kitab sittah.[36]
Pada abad berikutnya 7-8 H dan berikutnya disebut masa penghimpunan dan pembukuan hadits secara sistematik (Al-Jam’u wa al-Tanzhim). Setelah pemerintahan Abbasiyah jatuh ketangan bangsa Tartar pada tahun 656 H, maka pusat pemerintahan dari Baghdad ke Cairo Mesir dan India. Pada masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits seperti al-Barquq. Jalan-jalan yang ditempuh oleh ulama-ulama masa ketujuh ini ialah menertibkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadits hukum, mentakhrijkan hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab yang terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab Athraf.[37]
Perkembangan penulisan hadits pada abad ini intinya adalah menyusun kembali kitab-kitab hadis terdahulu secara sistematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat islam untuk mempelajarinya adalah sebagai berikut :
1.      Al-Maudhu’at, yaitu menghimpun hadits-hadits yang maudhu’ (palsu) saja kedalam sebuah buku, seperti Al-Maudhuat ditulis oleh Al-Asbahani (w. 414 H), Al-Maudhu’at ditulis oleh Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H), dan Al-la’ali Al-Mashuat fi Al-Ahadits Al-Maudhuat oleh Jalauddin As-Suyuty (w. 911 H).
2.      Al-Ahkam, yaitu menghimpun hadits-hadits tentang hukum saja seperti fikih,  misalnya Al-Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H), Umdah Al-Ahkam oleh Al-Maqdisi (w. 600 H), dan Bulugh Al-Maram  oleh Al-Asqalani.
3.      Al-Athraf, artinya tekhnik pembukuan hadits dengan menyebutkan permualan haditsnya saja, misalnya Athraf al-Kutub al-Sittah (Atgraf kitab enam yaitu shahiyun dan kitab-kitab Sunan selain Ibnu Majah) ditulis oleh Al-Maqdish dikenal Ibnu Al-Qisrani ( w. 507 H)
4.      Tahkrij, yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadits yang ada dalam buku hadits atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya. Misalnya Irwa’ Al-Ghalil.
5.      Zawa’id, yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti Musnad dan Mu’jam ke beberapa buku induk hadits. Misalnya, Majma’ al-Zawaid wa manba’ Al-Fawaid ditulis oleh Al-Haitami. Atau zawaid diartikan mengumpulkan hadits-hadits yang tak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya kedalam sebuah kitab tertentu, seperti Zawaid Ibn Majah dan Zawaid As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bashri (w. 840 H)
6.      Jawami’ atau jami’, sebuah kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits Nabi secara mutlak, seperti Al-Jami’ Al-Kabir yang dikenal dengan sebutan  Jami’ Al-Jawami dan Al-Jami’ Ash-Shaghir tulisan Ash-Suyuthi (w. 911 H).
Perkembangan penulisan dan pengkodifikasian hadits sampai pada abad 12 H. mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadis-hadis yang telah terhimpun sebelumnya.
                                    Skema Perkembangan Pembinaan dan Penghimpunan Hadis. [38]
No
Periode
Perkembangan
Karakteristik
penulisan
Model Buku
1.
Masa Nabi Muhammad
Larangan penulisan (nahyu al kitabah)
Hadits dihafal diluar kepala
Catatan pribadi dalam bentuk shahifah(lembaran)
2.
Masa sahabat
Penyederhanaan periwayatan (Taqli Ar-Riwayah) pada masa khulafur Rasyidin dan masa perlawatan hadits (Rihlah Ilmiah) masa setelahnya.
Disertai sumpah dan saksi pada masa Khulafur Rasyidin dan disertai sanad pada masa setelahnya
Catatan pribadi dalam bentuk shahifah (lembaran)
3.
Masa Tabi’in
Penghimpunan hadits (Al-Jam’u wa Al-Tadwin)
Bercampur antara hadits Nabi dan fatwa sahabat dan qauli sahabat
Shahifah mushannaf, muwattha’, Musnad dan Jami’
4.
Masa Tabi’ Tabi’in

                  
Kejayaan kodifikasi hadits (Azha Al-Ushur Sunnah)
Filterisasi dan klasifikasi (‘Ashr Al-Jami’wa At-Tashih)
Musnad, jami’, dan Sunan
5.
Masa setelah Tabi’ Tabi’in (abad-4 H dan seterusnya)
Penghimpunan dan penertiban secara sistematik (Al-Jam’u wa At- Tartib wa at-Tanzhim)
Bereferensi (Muraja’ah) pada buku-buku sebelumnya tetapi lebih sistematik
Mu’jam, Mustadrak, Mustakhraj, Ikhtisar, dan Syarah, Zawaid, Jami’, Jawami’, Athraf, Takhrij, dan Mu’jam
           
C.     Kesimpulan
Kodifikasi hadis adalah pembukuan hadis secara resmi atas perintah kepala Negara. Kodifikasi hadis dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, salah satu faktor hal ini terjadi adalah karena kekhawatiran Khalifah akan hilangnya hadis-hadis gugurnya para ulama hadis di medan perang, dan kekhawatiran akan bercampurnya antara hadis shahih dan hadis palsu.
Adapun upaya yang dilakukan untuk mewujudkan keinginan mulia ini, Khalifah menginstruksikan kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya.
Tahap demi tahap dilalui, mulai dari pengumpulan hadis yang berbentuk lembaran catatan hingga pembukuan, dan akhirnya ada yang berbentuk  Musnad, jami’, dan Sunan, Mu’jam, Mustadrak, Mustakhraj, Ikhtisar, dan Syarah, Zawaid, Jami’, Jawami’, Athraf, Takhrij, dan Mu’jam.

   



























DAFTAR PUSTAKA


Ali,Atabik, Ahmad Zuhdi Muhdlor, 1998, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta : Multi Karya Grafika

Al Manna’ Qattan, 1992, Mabahis Fi ‘Ulum Al-Hadis, Kairo : Maktabah Al-Wahbah

Al-Subhi Shalih, 1997, ‘Ulum Al-Hadits wa Musthalahuhu, Bairut : Dar Al-‘Ulum Al-Malayin

‘Ajaj Muhammad al-Khathib, 2007, Usul al-Hadis Pokok-pokok Ilmu Hadis,  Jakarta :Gaya Media Pratama

Aziz, Abdul Dahlan (Ed), 1998,  Ensiklopedi Hukum Islam,  Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoven

Bagus, Aditya Pratama, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Pustaka Media

Hasbi M. Ash Shiddieqy, 1991, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta : PT. Bulan Bintang

Ibn, Muhammad Mathar Al- Azharani, 1412 H, Tadwin Al- Sunnah Al- Nabawiyah, Nasy’atihi wa tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’ al-Hijri, Tharif : Maktabah Al-Shadiq

Majid, Abdul Khon, 2010, Ulumul Hadis,  Jakarta : Amzah

Mudasir, Ilmu Hadis, 2002, Bandung : Pustaka Setia

Muhammad Mustafa al-Sa’id Abu ‘Imarah, 1989, Al-Irsyad fi ‘Ulum al-Hadis, Kairo : Dar al- Thaba’ah al-Muhammadiyah

M, John Echols, 1997, Kamus Inggris Indonesia,  Jakarta :  PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rahman A. Ritonga, 2011, Studi Ilmu-Ilmu Hadis,  Yogyakarta : Interpena
Suparta,Munzier, 2003, Ilmu Hadis,  Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Yunus, Mahmud, 1989,  Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : PT. Hidakarya Agung










[1] Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 1998), hlm. 919
[2] John M, Echols, Kamus Inggris Indonesia, ( Jakarta :  PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 122
[3] Aditya Bagus Pratama, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ( Surabaya : Pustaka Media, Tahun tidak ada), hlm.360
[4] Muhammad ibn Mathar Al- Azharani, Tadwin Al- Sunnah Al- Nabawiyah, Nasy’atihi wa tathawwurihi min Al-Qarn Al-Awwal ila Nihayat Al-Qarni Al-Tasi’ al-Hijri, (Tharif : Maktabah Al-Shadiq, 1412 H), cet. I, hlm.73
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003), cet ke-4, hlm. 89
[6] Manna’ al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulum Al-Hadis, (Kairo : Maktabah Al-Wahbah, 1992), hlm. 33
[7] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, ( Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1989), hlm. 366
[8]  Manna’ al-Qattan, Op.Cit. 33
[9]  A. Rahman Ritonga, Studi Ilmu-Ilmu Hadis, ( Yogyakarta : Interpena, 2011), hlm. 184
[10] Subhi Al-Shalih, ‘Ulum Al-Hadits wa Musthalahuhu, ( Bairut : Dar Al-‘Ulum Al-Malayin, 1997),cet. Ke- 9, hlm 45.
[11] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2002), hlm. 106
[12] Mustafa Muhammad al-Sa’id Abu ‘Imarah, Al-Irsyad fi ‘Ulum al-Hadis,( Kairo : Dar al- Thaba’ah al-Muhammadiyah, 1989), hlm.229
[13] A. Rahman Ritonga, Lot.Cit, 187.dikutip dari buku Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, ( Kairo : Matba’ah Nahdhah al-Mishriyah, 1974), hlm. 106
[14] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Usul al-Hadis Pokok-pokok Ilmu Hadis, ( Jakarta :Gaya Media Pratama, 2007), cet ke-4, hlm. 152
[15] A. Rahman Ritonga, Lot.Cit, 187
[16] M. Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar ilmu hadits, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1991), hlm 79
[18]  Munzier Suparta, Op.Cit, hlm 89
[19] Hasbi Ash Shiddieq. Op.cit. 60
[20] Ibid
[21] A. Rahman Ritonga, Op.Cit. 188
[22] Mudasir, Op.Cit. 106
[23] Manna’ Al-Qaththan, Lot.cit. 53
[24] Hasbi Ash Shiddieq. Op.cit. 61
[25] Ajaj al-Khathib. Lot. Cit. 158 
[26] Muhammad ibn Mathar Al-Azhar, Op.Cit, hlm. 102

[27] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, ( Jakarta : Amzah, 2010), cet ke- 4, Hlm.57-58
[28] Muhammad ibn Mathar Al-Azhar, Op.Cit. 102
[29] Hasbi As-Shiddieqy, Loc.Cit. 68
[30] Abdul Aziz Dahlan (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoven, 1998) Jilid ke-2, hlm. 429

[31] Muhammad ibn Mathar Al-Azhar, Op.Cit. 109
[32] A. Rahman Ritonga. Lot.Cit. 191
[33] Zainimal, Ulumul Hadis, (Padang : The Minangkabau Fundation, 2005 ), hlm.83-85
[34] Ibid
[35] Abdul Majid Khon, Op.cit, h.58
[36] Ibid, h. 60-61
[37] Muhammad Hasby Ash Shieddiqy, Op. Cit, h.105
[38] Abdul Majid Khon, Lot.Cit. 63-64

Tidak ada komentar:

Posting Komentar