Rabu, 09 April 2014

AL-GHAZALI DAN CORAK TASAWUFNYA


A.                 Pendahuluan
Seorang sufi memiliki jalan sendiri dalam mencari jalan kebenaran dan berupaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah, jalan inilah yang mereka sebut mahkamat.  Masing-masing sufi berbeda tingkatan makamnya serta berbeda pula puncak pencapaiannya.
Al-Ghazali adalah salah seorang filosof dan juga seorang sufi. Namun ia lebih terkenal sebagai tokoh tasawuf yang muncul pada masa klasik dan masih sangat populer hingga kini, begitupun dengan karyanya.
Siapa sebenarnya al-Ghazali ? bagaimana perjalanannya hingga menjadi sufi dan bagaimana pula corak tasawufnya ?. Dalam makalah ini penulis akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan itu.    

B.                  Kehidupan Al- Ghazali
Ia adalah Imam Hamid bin Muhammad Al Ghazali. Dilahirkan di Thus ( bagian dari wilayah Khurasan/ Iran) pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun 1058 M.[1]Kata- kata al- Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali ( dengan dua z).  dengan menduakalikan z, kata- kata al-Ghazzali diambil dari kata ghazzal, artinya tukang pemintal benang, karena pekerjaan ayah al-Ghazali adalah memintal benang wol, sedang al-Ghazali dengan satu z, diambil dari kata Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali, sebutan terakhir ini banyak dipakai.[2]
Ayah al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang saleh dan meninggal dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil.[3] Di saat menjelang wafatnya, ayah al-Ghazali berwasiat kepada salah seorang temannya, seorang ahli sufi, buat al-Ghazali dan saudaranya Ahmad dan padanya dititipkan sedikit harta. Dalam wasiatnya ia berkata [4]:
“ Aku menyesal sekali dikarenakan aku tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak ku dapat itu melalui dua putraku ini”
Orang sufi yang shaleh itu menjalankan isi wasiat itu. Kedua anak titipannya diajarkan olehnya cara menulis dan mendidiknya, sampai harta titipan ayah kedua anak itu habis, sedangkan orang sufi itu sudah tidak mampu lagi memberikan makan buat kedua anak itu. Maka beliau berkata kepada mereka :
“ ketahuilah aku telah belanjakan semua harta yang diperuntukkan bagi kamu berdua. Sedangkan aku adalah seorang yang tidak memiliki harta yang dapat menolong kamu berdua, karena itu aku harap agar kamu berdua menitipkan diri pada sebuah sekolahan. Karena di samping kalian dapat belajar kalian juga dapat makan untuk membantu hidup kalian”.
Kedua anak itu (al- Ghazali dan saudaranya) menjalankan nasihat orang sufi itu, hingga membuat keduanya berbahagia dan naik derajat.
Perjalanan hidup al-Ghazali sejak dari muda sekali, sebelum berusia 20 tahun hingga berusia lebih 50 tahun tak henti-hentinya menyeburkan diri mengarungi samudera yang sangat dalam dengan tidak merasa takut, tiap soal diselami dengan penuh keberanian. Tiap kepercayaan dari sesuatu golongan diselidiki sedalam-dalamnya, menjadikan segala rahasia dan seluk beluk tiap mazhab untuk mendapatkan bukti mana yang benar dan mana yang salah. Ia selalu haus ingin tahu dengan sebenarnya segala sesuatu, tentang mana yang hak dan mana yang bathil. Hal ini diceritakannya dalam karyanya Al-Munqiz Min ad-Dhalᾱl (pembebas dari kesesatan).[5]
untuk menjawab keingintahuannya, mula-mula al-Ghazali mencari tahu tentang hakikat segala sesuatu. Untuk itu ia harus pula mengetahui apa sesungguhnya arti “ tahu” itu. Akhirnya nyatalah baginya bahwa arti ilmu atau tahu yang sesungguhnya itu ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas, sehingga tidak ada lagi ruang untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru. Keamanan dari bahaya salah atau keliru tadi harus diperkuat dengan keyakinan demikian rupa sehingga andai kata disangkal oleh seorang yang sakti, misalnya dapat merobah batu menjadi emas atau merobah tongkat menjadi ular, namun demikian itu tidak akan menimbulkan ragu-ragu sedikitpun terhadap keyakinan tadi. Sebab jika Aku kata al-Ghazali sudah yakin bahwa sepuluh itu adalah lebih banyak dari tiga, lalu ada orang yang mengatakan bahwa tiga itulah lebih banyak dengan alasan bahwa ia dapat merobah tongkat menjadi ular, dan lalu dibuktikannya serta aku melihat itu dengan mata kepalaku sendiri, meskipun demikian namun aku tidak akan ragu-ragu tentang pengetahuan tadi (bahwa sepuluh itu lebih banyak dari tiga), hanya saja aku tentunya heran saja bagaimana ia dapat merobah tongkat tadi menjadi ular.
Selanjutnya, menurut al-Ghazali jika ilmu yang diketahuinya bila tidak seperti penjelasan di atas, dan apapun yang diyakininya apabila tidak seyakin penjelasan di atas, maka yang demikian bukanlah ilmu yang patut dipegang dan tidak ada rasa aman di dalamnya. Dan setiap ilmu yang tidak memberikan rasa aman demikian bukanlah ilmu yang yakin.
Lalu al- Ghazali memeriksa segala pengetahuannya yang diperolehnya dengan perantara pancaindera dan ditambah dengan pengetahuan dasar dari akal. Dan akhirnya ia pun ragu-ragu akan kebenaran pendapat pancaindera dan pengetahuan dasar itu. Sebab mana bisa pancaindera dapat dipercaya sedangkan penglihatan mata, yaitu yang terkuat dari pancaindera ada kalanya berbuat seolah-olah menipu. Engkau melihat bintang nampaknya kecil, tetapi bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bintang itu lebih besar daripada bumi kita ini.
maka al-Ghazali berkata : “ Batallah pula kepercayaanku kepada segala sesuatu yang dicapai oleh pancaindera. Mungkin tak ada lagi dapat dipercaya melainkan pengetahuan dasar. Seperti pengertian bahwa sepuluh itu lebih banyak dari tiga.”
Lalu hukum pancaindera menjawab, “ Bagaimana engkau dapat memastikan bahwa kepercayaanmu kepada hukum akal itu tidak seperti kepercayaanmu kepadaku?, tadinya engkau percaya kepadaku, kemudian datanglah hukum akal yang lalu mendustakan aku. Andai kata hukum akal tidak datang, tentu engkau tetap percaya kepadaku. Siapa tahu barangkali ada hukum lain yang dapat mendustakan hukum akal, sebagaimana hukum akal dapat mendustakan hukum pancaindera. Kenyataan bahwa hukum yang lain itu tidak muncul sekarang, ini bukan menunjukkan tidak mungkinnya. “
Keadaan ini sangat sukar bagi al-Ghazali untuk menghilangkan keragu-raguannya, dan memang tak dapat disembuhkan kecuali dengan bukti. Sedang tidak dapat mungkin mengadakan bukti melainkan jika tersusun dari pengetahuan dasar. Tetapi jika pengertian dari pengetahuan dasar ini tak lagi dapat diterima, maka tertutuplah jalan untuk mencapai sesuatu bukti. Penyakit ini dirasakannya hampir dua bulan lamanya. Dan selama itu hampir saja al-Ghazali seperti kaum Safsatah. Tetapi untunglah akhirnya Allah SWT berkenan menyembuhkan penyakit tadi. Pikiran menjadi sehat dan keseimbangan kembali, dan dengan aman dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian-pengertian dasar dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau menyusun keterangan, melainkan dengan nur  (cahaya) yang dipancarkan Allah SWT ke dalam hatinya. Nur itu merupakan anak kunci kebanyakan makrifat. Barang siapa mengira bahwa kasyf ( terbukanya tabir pembatas antara Tuhan dan manusia) hanya tergantung pada rangkaian dalil-dalil semata, maka ia telah mempersempit rahmat Allah SWT yang amat luas.
Ketika Rasulullah SAW ditanya orang tentang arti melapang dada, dalam firman Allah SWT, “ Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam” (Qs. Al-An’am : 125). Berkata Beliau :” Itu adalah nur yang dimasukkan Allah ke dalam hati dan menyebabkan kelapangan dada.” Kemudian ketika ditanya apa tandanya, Beliau menjawab :” Menjauhi dunia tipuan dan menghadap dengan sepenuh hati ke alam abadi.”   
Tidak mudah al-Ghazali mendapatkan nur Allah untuk benar-benar sembuh dari keragu-raguannya, sempat mengalami masa kritis hingga akhirnya Allah memasukkan nur ke dalam hatinya.
Pada referensi lain ditemukan bahwa al-Ghazali pernah belajar di Madrasah Nizamiyah yang dipimpin oleh ulama besar Imam al-Haramain al-Juwaini, al-Ghazali memperoleh ilmu usul fikih, ilmu mantik, dan ilmu kalam. Karena dinilai berbakat dan berpotensi ia diangkat menjadi asistennya. Ia kemudian dipercaya untuk menggantikan al-Juwaini mengajar setiap kali gurunya berhalangan datang atau dipercaya mewakilinya sebagai pimpinan Nizamiyah. Di Nisabur inilah bakatnya dalam menulis berkembang. Bahkan berkat kepandaiannya Perdana Menteri Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi guru besar pada Madarasah Nizamiyah di Baghdad tahun 1090 M. ini merupakan kedudukan sangat terhormat dan merupakan prestasi puncak, dan inilah yang menjadikannya semakin popular. Akan tetapi setelah lima tahun (1090-1095) memangku jabatan itu, ia mengundurkan diri.[6]
Ketika itu kehidupannya goncang karena keraguan yang meliputi dirinya, “Apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau salah ? perasaan syak ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang diperolehnya dari al-Juwaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu sama lain terdapat kontradiksi. Al-Ghazali ragu, mana yang di antara aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Al-Ghazali meninggalkan profesinya sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun ditinggalkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama sepuluh tahun ia menjalani hidupnya sebagai seorang sufi, banyak orang yang tidak mengenalnya lagi. Kemudian ia mengurung diri di mesjid Damascus. Di sinilah ia menulis kitabnya Ihya’ ‘Ulum ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara fiqih dan tasawuf. [7]
Pada tahun 1105, al-Ghazali kembali kepada tugasnya semula, mengajar di Madrasah Nizamiyah, memenuhi panggilan Fakhr al-Mulk, putra Nizam al-Mulk. Akan tetapi tugas mengajar ini tidak lama dilaksanakannya. Di sana ia mendirikan sebuah halaqah ( sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya hingga ia wafat (1111).[8]

C.                  Corak Tasawuf Al-Ghazali
Timbullah pertanyaan, bagaimana corak tasawufnya. Tasawuf dengan sikapnya yang negatif dan asing dari semangat jiwa Islam, sebagaimana yang terlihat pada aliran-aliran tasawuf ekstrim, telah menimbulkan reaksi dan kemarahan aliran Islam Sunni. Maka datanglah al-Ghazali untuk memasukkan tasawuf dalam pangkuan Islam Sunni. Ia memasuki kehidupan tasawuf, tetapi ia tidak melibatkan diri dalam aliran tasawuf hulul (inkarnasi) atau tasawuf wihdat ul-wujud (pantheisme), dan buku-buku yang dikarangnya juga tidak keluar dari jalan  (sunnah) Islam yang benar.[9]
Setelah dengan karunia Tuhan al-Ghazali sembuh dari penyakitnya, nyatalah baginya bahwa golongan yang mencari kebenaran itu ada empat macam :[10]
1.      Para ahli ilmu kalam, yang mengaku ahli pikir dan selidik
2.      Golongan bathiniyah, yang mengaku menerima pelajaran dari imam yang ma’sum (pemimpin yang terpelihara dari berbuat salah)
3.      Kaum filusuf, yang mengaku ahli mantik dan bukti
4.      Golongan sufi, yang mengaku dapat menyaksikan hal-hal ghaib dan rahasia-rahasia yang tak dapat tercapai dengan akal. Dan terbuka tutup atau tirai baginya
Menurut al-Ghazali, kebenaran tentulah ada pada salah satu dari keempat golongan ini, sebab merekalah yang menempuh rupa-rupa jalan untuk mencarinya. Jika andai kata semuanya tidak dapat mencapai kebenaran, maka tidak adalah harapan lagi untuk mencapainya. Lalu al-Ghazali menumpuh jalan-jalan ini, mempelajari sedalam-dalamnya ilmu dari keempat golongan tadi. Mulai dari ilmu kalam, ilmu filsafat, kemudian ajaran bathiniyah dan akhirnya ia menempuh jalan sufi.
Setelah berada pada jalan sufi, nyata sekali bagi al-Ghazali bahwa jalan ini tidak akan dapat ditempuh melainkan dengan ilmu dan amal. Pokoknya adalah harus menempuh tanjakan-tanjakan batin dan membersihkan diri. Hal ini perlu mengosongkan batin dan kemudian mengisinya dengan zikir kepada Allah SWT.
Saat al-Ghazali menetap di Syam selama dua tahun, ia melakukan ‘uzlah, khalwat, riadlah, dan mujahadah, menurut tasawuf yang telah dipelajarinya, semua itu untuk menjernihkan batin, agar mudah berzikir kepada Allah SWT sebagaimana mestinya.
Al-Ghazali terus menerus melakukan ‘uzlah dan khalwat dalam lebih kurang sepuluh tahun. Diwaktu itu jelaslah baginya berbagai rahasia yang tak terhitung lagi.[11]
Kehidupan al-Ghazali di masa tuanya telah mantap coraknya sebagai seorang sufi. Sebagai sufi ia berkeyakinan bahwa tasawuf adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Melalui tasawuf, seseorang dapat berada dekat dengan Tuhan, bahkan dengan qalbunya dapat melihat Tuhan. Akan tetapi jalan untuk menjadi sufi tidaklah mudah, penuh dengan ujian dan godaan. Al- Ghazali sendiri menceritakan pengalamannya bertahun-tahun ia melatih diri, meninggalkan segala kesenangan jasmani dan semata-mata mengabdi kepada Tuhan.[12]
Achmad Faizur Rosyad dalm bukunya Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al-Ghazali, Tasawuf, Filsafat dan Tradisi menyatakan bahwa di akhir perjalanan studi al-Ghazali mulai mendalami tasawuf. Kegiatan ini dilakukan karena dia percaya bahwa kaum sufi tidak pernah main-main dalam mencari kebenaran. Mereka benar-benar memiliki keinginan untuk mencapai tujuan. Ajarannya tidak dapat dipahami secara tepat jika tidak diikuti dengan pengalaman langsung. Kaum sufi bukanlah orang yang suka bermain kata-kata, tetapi langsung pada pengalaman nyata dengan menghayati hidup dan berlatih mengenyampingkan dunia. setelah menerjuni dunia tasawuf, al-Ghazali mulai mengabdikan diri dengan latihan-latihan sufi untuk memurnikan jiwa dari kekejian, serta memperindah akhlak dengan kebaikan dan zikir. Jalan sufi yang dia tempuh ini tidak berubah hingga akhir hayatnya.[13]
Menurut al-Ghazali ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus dilalui oleh seorang calon sufi, yakni :
1.      Tobat
Ketahuilah bahwa taubat itu ibarat dari suatu pengertian yang tersusun dan terkumpul dari tiga perkara yang secara tertib yaitu : ilmu, keadaan, dan perbuatan. Maka ilmu yang pertama, keadaan yang kedua dan perbuatan yang ketiga. Yang pertama mengharuskan yang kedua dan mengharuskan ketiga dengan keharusan yang dituntut oleh berlakunya sunnatullah pada kerajaan-Nya.
Adapun ilmu maka ia adalah mengetahui besarnya bahaya dosa dan bahwa dosa-dosa itu menjadi dinding antara hamba dan setiap yang dicintai. Apabila ia mengetahui demikian dengan pengetahuan yang dibuktikan dengan keyakinan yang menguasai hati, niscaya berkobar dari pengetahuan ini rasa sakit bagi hati disebabkan kehilangan kekasihnya, niscaya ia merasa sakit. Kalau rasa sakitnya disebabkan perbuatannya, niscaya ia menyesal terhadap perbuatan yang menghilangkan.[14] Dan penyesalan yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “ Penyesalan itu adalah tobat.[15] Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa.

2.      Sabar
Al- Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya melahirkan dorongan untuk berbuat jahat. Jika daya jiwa yang melahirkan dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat, maka seseorang sudah dapat diketegorikan sabar.
Selain itu juga dikatakan bahwa kesabaran memilki tiga macam : Pertama, sabar atas keta’atan. Kedua, sabar dari kemaksiatan. Ketiga, sabar menerima cobaan.[16]
Untuk memudahkan jalan menuju kesabaran, al-Ghazali memberikan nasehat sebagai berikut :
a.       Seseorang harus membatasi jumlah dan nilai makanan yang dimakannya karena dorongan syahwat kebanyakan timbul dari perut yang kenyang.   
b.      Seseorang harus memelihara pandangan matanya dari hal-hal yang mudah merangsang syahwat. Untuk itu seorang calon sufi sebaiknya menyendiri di tempat yang jauh dari keramaian.
c.       Seseorang harus membiasakan diri melepaskan nafsunya pada jalan yang diridhai Allah.

3.      Kefakiran
Kefakiran adalah suatu ibarat daripada tidak adanya hal-hal yang dibutuhkan. Adapun tidak adanya hal-hal yang tidak dibutuhkan, maka itu tidak disebut fakir. Apabila yang dibutuhkan itu wujud dan ia mampu padanya, maka yang membutuhkan itu tidak disebut orang fakir.
Jika telah paham dengan pengertian di atas maka tidak akan ragu lagi bahwa setiap yang wujud selain Allah Ta’ala itu fakir. Karena ia membutuhkan kepada kelanggengan wujud pada keadaan yang kedua. Dan kelanggengan wujud itu diperolehkan dari anugerah Allah Ta’ala untuk mewujudkannya.[17]

4.      Zuhud
Dalam hal ini seseorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Menurut al-Ghazali, zuhud itu bertingkat-tingkat. Tingkat tertinggi adalah zuhud yang dilakukan semata-mata karena cinta kepada Allah. Untuk sampai pada tingkatan ini, hati seharusnya hanya diisi dengan mengingat Allah. Ini hanya dapat diperoleh dengan meninggalkan semua kesenangan duniawi.

5.      Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan urusan kepada seseorang yang kemudian disebut wakil, dan memercayakan kepadanya dalam urusan tersebut. Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan urusan kepada orang lain ( wakil) kecuali ia merasa tenang dengannya dan percaya kepadanya baik dari sudut ke-tsiqah-annya maupun kecakapannya. Tawakal dalam pembahasan ini tentu saja tawakal kepada Allah.[18]
Menurut al-Ghazali, bahwa keadaan tawakal itu mempunyai tiga derajat dalam kuat dan lemahnya, yaitu :
a.       Derajat yang pertama yaitu apabila keadaannya pada hak Allah, percaya kepada tanggungan-Nya dan pertolongan-Nya itu seperti keadaannya dalam percaya kepada Wakil.
b.      Derajat yang kedua lebih kuat dari pada yang pertama, yaitu apabila keadaannya bersama Allah Ta’ala itu seperti keadaan anak kecil bersama ibunya. Karena anak kecil itu tidak mengenal kecuali kepada ibunya. Dia tidak berlindung kepada seseorang kecuali kepada ibunya. Dan dia tidak berpegang kecuali kepada ibunya. Maka barang siapa yang urusannya kepada Allah ta’ala dan pandangannya kepada-Nya, pegangannya kepada-Nya, niscaya ia ditanggung oleh Allah Ta’ala sebagaimana anak kecil ditanggung oleh ibunya, maka orang itu adalah orang yang bertawakkal sejati.
c.       Derajat yang ketiga adalah derajat yang paling tinggi yaitu ia dihadapan Allah Ta’ala dalam gerak dan tenangnya seperti mayat ditangan yang memandikan.[19]

6.      Ma’rifah
Ma’rifah yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada.
Dalam kitab Minhajul Abidin kemudian telah diterjemahkan oleh Zakaria Adham dengan judul buku Wasiat Imam Ghazali, menjelaskan bahwa adapun yang lebih jelas dengan ilmu ma’rifah adalah orang harus mengenal empat perkara :
a.       Mengenal dirinya
b.      Mengenal Tuhannya
c.       Mengenal dunia
d.      Mengenal akhirat.[20] 
      Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah mendapatkan ilmu yang langsung diberikan Allah dengan cara banyak beribadah, tanpa dipelajari. Ma’rifat paling lezat adalah yang paling mulia daripadaya. Kadar kemuliaannya, menurut kadar kemuliaan ilmu yang telah diketahuinya. Jikalau dalam ilmu yang diketahui itu ada yang lebih agung, lebih sempurna, lebih mulia dan lebih besar, maka mengetahuinya itu sudah pasti menjadi ilmu yang paling lezat, paling mulia dan paling agung. Dengan ini maka jelaslah bahwa ilmu itu lezat. Ilmu yang paling lezat adalah ilmu yang mmenyangkut tentang Allah Ta’ala. Dengan sifat-sifatNya, af’alNya dan cara pengaturanNya dalam kerajaanNya dari besarnya Arasy sampai kepada sempadan bumi. Maka seyogialah diketahui bahwa kelezatan ma’rifah itu lebih kuat dari kelezatan-kelezatan lainnya.[21]
Menurut al-Ghazali, ma’rifat yang demikianlah yang menghasilkan kebenaran sejati, seperti dikatakannya :
      “Ilmu yakin itulah yang telah menyingkapkan apa yang diketahui, sehingga dengannya tidak ada lagi keraguan serta tidak dibarengi keliru ataupun ilusi.”
Ma’rifah itu hanya dapat diperoleh dengan jalan membersihkan hati sebersih-bersihnya dari segala noda.[22]
Ma’rifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah (mencintai Allah). Menurut al-Ghazali ma’rifat dan mahabbah adalah derajat tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Mahabbah berarti mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi (Tuhan). Kadar cinta seorang sufi ditentukan oleh kedalaman ma’rifat yang dimilikinya. Semakin kuat makrifatnya, maka semakin kuat mahabbah-nya.



















D.                 Penutup
1.      Kesimpulan
Perjalanan al-Ghazali dalam mencari jalan kebenaran tidak dilakukannya dengan cara mendalami satu ilmu saja, dan tidak langsung bergabung ke dalam kelompok sufi, namun al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari ajaran satu persatu dari kelompok pencari kebenaran yang dibaginya menjadi empat kelompok itu. Setelah selesai pada satu kelompok dan ia masih belum menemukan apa yang dicarinya maka al-Ghazali mempelajari kelompok berikutnya, hingga berakhir pada kelompok sufi dan mengambil kesimpulan bahwa jalan yang ditempuh oleh para sufi adalah jalan yang benar. Bagi al-Ghazali maqamat tertinggi sebagai seorang sufi adalah makrifat.
Dan untuk sampai pada tingkat makrifat al-Ghazali sempat mengalami masa kritis ulah keragu-raguannya, hingga akhirnya Allah memberikan nur untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Dan jadilah al-Ghazali memilih jalan sufi hingga akhir hayatnya.

2.      Kritik dan saran
Demikianlah pembahasan tentang kehidupan al-Ghazali dan corak tasawufnya dalam makalah ini, penulis berharap adanya kritikan dan saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca untuk tercapainya kesempurnaan dalam penulisan dan pembahasan makalah ini.








DAFTAR PUSTAKA
Abi , Imam Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, 1991 , Ihya’ ‘Ulumuddin, Jilid 5, Bairut Libanon : Darulfikri
Adham, Zakaria, 1996, Wasiat Imam Ghazali,  Jakarta : Darul Ulum Press
Asmuni, Yusran, 1998, Dirasah Ilmiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Al-Ghazali, Imam, 2003, Ihya’ Ulumiddin, vol 7 & 8, Ter. Moh. Zuhri dkk, Semarang : CV. Asy Syifa’
Faizur, Achmad Rosyad, 2004, Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al-Ghazali, Tasawuf, Filsafat dan Tradisi, Yogyakarta : Kutub
Ghazali, Al, 1990, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin, Beirut : Muassasah Al-Kutub Al-Tsaqafiyyah, Terj. Irwan Kurniawan, 1997, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Bandung : Mizan
Ghazali, Imam, Al-Munqiz Min ad-Dhalal, ter. Abdullah bin Nuh, 1966, Pembebas dari Kesesatan, Jakarta : Tintamas
Halim, Abdul Mahmoud, tt, Hal Ikhwal Tasauf Analisa Tentang Almunqidz Minadhdhalal, Indonesia : Daarul Ihya’
Hanafi, Ahmad, 1990, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta bulan bintang
Husein, Zaid Al Hamid, 1995, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Jakarta : Pustaka Amani
Hawa, Sa’id, 2010, Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyatun-nafs Terpadu Intisari Ihya’ Ulumuddin Al- Ghazali, Jakarta : Robbani Press
Kartanegara, Mulyadi, 2006 Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta : Erlangga
Muhammad, Asysyaikh Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi, Mua’izatul Mukminin Min Ihya’ ‘Ulumuddin, Ter. Moh. Abdai Rothomy, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin, tt, Bandung : Diponegoro
Poerwantana, dkk, 1986, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : Cv. Rosda
Redaksi, Dewan, 1994, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Hoeve
Redaksi, Dewan Taufik Abdullah dkk, , tt,  Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, Jakarta : PT Ichtiar Hoeve.



[1] Imam Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, (Bairut Libanon : Darulfikri, 1991), Jilid 5,hlm. 10
[2]  Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hlm. 135
[3] Ibid
[4] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : Cv. Rosda, 1986), hlm. 166
[5] Imam Ghazali, Al-Munqiz Min ad-Dhalᾱl, ter. Abdullah bin Nuh, Pembebas dari Kesesatan, ( Jakarta : Tintamas, 1966), hlm. 6
[6] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta : PT Ichtiar Hoeve, 1994), hlm. 25-26
[7] Ibid
[8] Ibid
[9]  Ahmad Hanafi, op.cit, hlm. 140
[10]  Al-Ghazali, op.cit, hlm. 11
[11] Ibid
[12] Dewan Redaksi, op.cit. hlm. 27
[13] Achmad Faizur Rosyad, Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al-Ghazali, Tasawuf, Filsafat dan Tradisi, ( Yogyakarta : Kutub, 2004), hlm.  117
[14] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, vol 7, Ter. Moh. Zuhri dkk, ( Semarang : CV. Asy Syifa’, 2003), hlm.136
[15] Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin,( Beirut : Muassasah Al-Kutub Al-Tsaqafiyyah, 1990), Terj. Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, ( Bandung : Mizan, 1997), hlm. 306
[16] Sa’id Hawa, Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyatun-nafs Terpadu Intisari Ihya’ Ulumuddin Al- Ghazali, (Jakarta : Robbani Press, 2010), hlm. 370
[17] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, vol 8, Ter. Moh. Zuhri dkk, ( Semarang : CV. Asy Syifa’, 2003), hlm.126
[18] Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, ( Jakarta : Erlangga, 2006), hlm. 199-200
[19]  Imam Al-Ghazali, vol. 8, op.cit, 126
[20] Zakaria Adham, Wasiat Imam Ghazali, ( Jakarta : Darul Ulum Press, 1996), cet.7, hlm. 38
[21] Imam Al-Ghazali, vol. 8,op.cit, 550
[22] Dewan Redaksi Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta : PT Ichtiar Hoeve, tt), hlm. 148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar