A. Pendahuluan
Seorang sufi memiliki jalan sendiri dalam mencari jalan kebenaran
dan berupaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah, jalan inilah yang
mereka sebut mahkamat.
Masing-masing sufi berbeda tingkatan makamnya serta berbeda pula puncak
pencapaiannya.
Al-Ghazali adalah salah seorang filosof dan juga seorang sufi. Namun
ia lebih terkenal sebagai tokoh tasawuf yang muncul pada masa klasik dan masih
sangat populer hingga kini, begitupun dengan karyanya.
Siapa sebenarnya al-Ghazali ? bagaimana perjalanannya hingga
menjadi sufi dan bagaimana pula corak tasawufnya ?. Dalam makalah ini penulis
akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan itu.
B.
Kehidupan Al- Ghazali
Ia adalah Imam Hamid bin Muhammad Al Ghazali. Dilahirkan di Thus (
bagian dari wilayah Khurasan/ Iran) pada tahun 450 H bertepatan dengan tahun
1058 M.[1]Kata-
kata al- Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali ( dengan dua z). dengan menduakalikan z, kata- kata
al-Ghazzali diambil dari kata ghazzal, artinya tukang pemintal benang,
karena pekerjaan ayah al-Ghazali adalah memintal benang wol, sedang al-Ghazali
dengan satu z, diambil dari kata Ghazalah, nama kampung kelahiran
al-Ghazali, sebutan terakhir ini banyak dipakai.[2]
Ayah al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang saleh dan meninggal
dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil.[3] Di
saat menjelang wafatnya, ayah al-Ghazali berwasiat kepada salah seorang
temannya, seorang ahli sufi, buat al-Ghazali dan saudaranya Ahmad dan padanya
dititipkan sedikit harta. Dalam wasiatnya ia berkata [4]:
“ Aku menyesal sekali dikarenakan aku tidak belajar menulis, aku
berharap untuk mendapatkan apa yang tidak ku dapat itu melalui dua putraku ini”
Orang sufi yang shaleh itu menjalankan isi wasiat itu. Kedua anak
titipannya diajarkan olehnya cara menulis dan mendidiknya, sampai harta titipan
ayah kedua anak itu habis, sedangkan orang sufi itu sudah tidak mampu lagi
memberikan makan buat kedua anak itu. Maka beliau berkata kepada mereka :
“ ketahuilah aku telah belanjakan semua harta yang diperuntukkan
bagi kamu berdua. Sedangkan aku adalah seorang yang tidak memiliki harta yang
dapat menolong kamu berdua, karena itu aku harap agar kamu berdua menitipkan
diri pada sebuah sekolahan. Karena di samping kalian dapat belajar kalian juga
dapat makan untuk membantu hidup kalian”.
Kedua anak itu (al- Ghazali dan saudaranya) menjalankan nasihat
orang sufi itu, hingga membuat keduanya berbahagia dan naik derajat.
Perjalanan hidup al-Ghazali sejak dari muda sekali, sebelum berusia
20 tahun hingga berusia lebih 50 tahun tak henti-hentinya menyeburkan diri
mengarungi samudera yang sangat dalam dengan tidak merasa takut, tiap soal
diselami dengan penuh keberanian. Tiap kepercayaan dari sesuatu golongan
diselidiki sedalam-dalamnya, menjadikan segala rahasia dan seluk beluk tiap
mazhab untuk mendapatkan bukti mana yang benar dan mana yang salah. Ia selalu
haus ingin tahu dengan sebenarnya segala sesuatu, tentang mana yang hak
dan mana yang bathil. Hal ini diceritakannya dalam karyanya Al-Munqiz
Min ad-Dhalᾱl (pembebas dari kesesatan).[5]
untuk menjawab keingintahuannya, mula-mula al-Ghazali mencari tahu
tentang hakikat segala sesuatu. Untuk itu ia harus pula mengetahui apa
sesungguhnya arti “ tahu” itu. Akhirnya nyatalah baginya bahwa arti ilmu atau
tahu yang sesungguhnya itu ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas, sehingga
tidak ada lagi ruang untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru. Keamanan
dari bahaya salah atau keliru tadi harus diperkuat dengan keyakinan demikian
rupa sehingga andai kata disangkal oleh seorang yang sakti, misalnya dapat
merobah batu menjadi emas atau merobah tongkat menjadi ular, namun demikian itu
tidak akan menimbulkan ragu-ragu sedikitpun terhadap keyakinan tadi. Sebab jika
Aku kata al-Ghazali sudah yakin bahwa sepuluh itu adalah lebih banyak dari
tiga, lalu ada orang yang mengatakan bahwa tiga itulah lebih banyak dengan
alasan bahwa ia dapat merobah tongkat menjadi ular, dan lalu dibuktikannya
serta aku melihat itu dengan mata kepalaku sendiri, meskipun demikian namun aku
tidak akan ragu-ragu tentang pengetahuan tadi (bahwa sepuluh itu lebih banyak
dari tiga), hanya saja aku tentunya heran saja bagaimana ia dapat merobah
tongkat tadi menjadi ular.
Selanjutnya, menurut al-Ghazali jika ilmu yang diketahuinya bila
tidak seperti penjelasan di atas, dan apapun yang diyakininya apabila tidak
seyakin penjelasan di atas, maka yang demikian bukanlah ilmu yang patut
dipegang dan tidak ada rasa aman di dalamnya. Dan setiap ilmu yang tidak
memberikan rasa aman demikian bukanlah ilmu yang yakin.
Lalu al- Ghazali memeriksa segala pengetahuannya yang diperolehnya
dengan perantara pancaindera dan ditambah dengan pengetahuan dasar dari akal. Dan
akhirnya ia pun ragu-ragu akan kebenaran pendapat pancaindera dan pengetahuan
dasar itu. Sebab mana bisa pancaindera dapat dipercaya sedangkan penglihatan
mata, yaitu yang terkuat dari pancaindera ada kalanya berbuat seolah-olah
menipu. Engkau melihat bintang nampaknya kecil, tetapi bukti-bukti berdasarkan
ilmu ukur menunjukkan bintang itu lebih besar daripada bumi kita ini.
maka al-Ghazali berkata : “ Batallah pula kepercayaanku kepada
segala sesuatu yang dicapai oleh pancaindera. Mungkin tak ada lagi dapat
dipercaya melainkan pengetahuan dasar. Seperti pengertian bahwa sepuluh itu
lebih banyak dari tiga.”
Lalu hukum pancaindera menjawab, “ Bagaimana engkau dapat
memastikan bahwa kepercayaanmu kepada hukum akal itu tidak seperti
kepercayaanmu kepadaku?, tadinya engkau percaya kepadaku, kemudian datanglah
hukum akal yang lalu mendustakan aku. Andai kata hukum akal tidak datang, tentu
engkau tetap percaya kepadaku. Siapa tahu barangkali ada hukum lain yang dapat
mendustakan hukum akal, sebagaimana hukum akal dapat mendustakan hukum
pancaindera. Kenyataan bahwa hukum yang lain itu tidak muncul sekarang, ini
bukan menunjukkan tidak mungkinnya. “
Keadaan ini sangat sukar bagi al-Ghazali untuk menghilangkan
keragu-raguannya, dan memang tak dapat disembuhkan kecuali dengan bukti. Sedang
tidak dapat mungkin mengadakan bukti melainkan jika tersusun dari pengetahuan
dasar. Tetapi jika pengertian dari pengetahuan dasar ini tak lagi dapat
diterima, maka tertutuplah jalan untuk mencapai sesuatu bukti. Penyakit ini
dirasakannya hampir dua bulan lamanya. Dan selama itu hampir saja al-Ghazali
seperti kaum Safsatah. Tetapi untunglah akhirnya Allah SWT berkenan
menyembuhkan penyakit tadi. Pikiran menjadi sehat dan keseimbangan kembali, dan
dengan aman dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian-pengertian
dasar dari akal itu. Semua itu terjadi tidak dengan mengatur alasan atau
menyusun keterangan, melainkan dengan nur
(cahaya) yang dipancarkan Allah SWT ke dalam hatinya. Nur itu merupakan
anak kunci kebanyakan makrifat. Barang siapa mengira bahwa kasyf ( terbukanya
tabir pembatas antara Tuhan dan manusia) hanya tergantung pada rangkaian
dalil-dalil semata, maka ia telah mempersempit rahmat Allah SWT yang amat luas.
Ketika Rasulullah SAW ditanya orang tentang arti melapang dada,
dalam firman Allah SWT, “ Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan
kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam”
(Qs. Al-An’am : 125). Berkata Beliau :” Itu adalah nur yang dimasukkan Allah ke
dalam hati dan menyebabkan kelapangan dada.” Kemudian ketika ditanya apa
tandanya, Beliau menjawab :” Menjauhi dunia tipuan dan menghadap dengan sepenuh
hati ke alam abadi.”
Tidak mudah al-Ghazali mendapatkan nur Allah untuk benar-benar sembuh
dari keragu-raguannya, sempat mengalami masa kritis hingga akhirnya Allah
memasukkan nur ke dalam hatinya.
Pada referensi lain ditemukan bahwa al-Ghazali pernah belajar di
Madrasah Nizamiyah yang dipimpin oleh ulama besar Imam al-Haramain al-Juwaini,
al-Ghazali memperoleh ilmu usul fikih, ilmu mantik, dan ilmu kalam. Karena
dinilai berbakat dan berpotensi ia diangkat menjadi asistennya. Ia kemudian
dipercaya untuk menggantikan al-Juwaini mengajar setiap kali gurunya
berhalangan datang atau dipercaya mewakilinya sebagai pimpinan Nizamiyah. Di
Nisabur inilah bakatnya dalam menulis berkembang. Bahkan berkat kepandaiannya
Perdana Menteri Nizam al-Mulk mengangkatnya menjadi guru besar pada Madarasah
Nizamiyah di Baghdad tahun 1090 M. ini merupakan kedudukan sangat terhormat dan
merupakan prestasi puncak, dan inilah yang menjadikannya semakin popular. Akan
tetapi setelah lima tahun (1090-1095) memangku jabatan itu, ia mengundurkan
diri.[6]
Ketika itu kehidupannya goncang karena keraguan yang meliputi
dirinya, “Apakah jalan yang ditempuhnya sudah benar atau salah ? perasaan syak
ini timbul dalam dirinya setelah mempelajari ilmu kalam (teologi) yang
diperolehnya dari al-Juwaini. Teologi membahas berbagai aliran yang antara satu
sama lain terdapat kontradiksi. Al-Ghazali ragu, mana yang di antara
aliran-aliran itu yang betul-betul benar. Al-Ghazali meninggalkan profesinya
sebagai guru, pergi mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Keluarganya pun
ditinggalkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama sepuluh tahun ia
menjalani hidupnya sebagai seorang sufi, banyak orang yang tidak mengenalnya
lagi. Kemudian ia mengurung diri di mesjid Damascus. Di sinilah ia menulis
kitabnya Ihya’ ‘Ulum ad-Din, sebuah kitab yang merupakan paduan antara
fiqih dan tasawuf. [7]
Pada tahun 1105, al-Ghazali kembali kepada tugasnya semula,
mengajar di Madrasah Nizamiyah, memenuhi panggilan Fakhr al-Mulk, putra Nizam
al-Mulk. Akan tetapi tugas mengajar ini tidak lama dilaksanakannya. Di sana ia
mendirikan sebuah halaqah ( sekolah khusus untuk calon sufi) yang diasuhnya
hingga ia wafat (1111).[8]
C.
Corak Tasawuf Al-Ghazali
Timbullah pertanyaan, bagaimana corak tasawufnya. Tasawuf dengan
sikapnya yang negatif dan asing dari semangat jiwa Islam, sebagaimana yang
terlihat pada aliran-aliran tasawuf ekstrim, telah menimbulkan reaksi dan
kemarahan aliran Islam Sunni. Maka datanglah al-Ghazali untuk memasukkan
tasawuf dalam pangkuan Islam Sunni. Ia memasuki kehidupan tasawuf, tetapi ia
tidak melibatkan diri dalam aliran tasawuf hulul (inkarnasi) atau
tasawuf wihdat ul-wujud (pantheisme), dan buku-buku yang dikarangnya
juga tidak keluar dari jalan (sunnah)
Islam yang benar.[9]
Setelah dengan karunia Tuhan al-Ghazali sembuh dari penyakitnya,
nyatalah baginya bahwa golongan yang mencari kebenaran itu ada empat macam :[10]
1.
Para ahli ilmu kalam, yang mengaku ahli pikir dan selidik
2.
Golongan bathiniyah, yang mengaku menerima pelajaran dari imam yang
ma’sum (pemimpin yang terpelihara dari berbuat salah)
3.
Kaum filusuf, yang mengaku ahli mantik dan bukti
4.
Golongan sufi, yang mengaku dapat menyaksikan hal-hal ghaib dan
rahasia-rahasia yang tak dapat tercapai dengan akal. Dan terbuka tutup atau tirai
baginya
Menurut al-Ghazali,
kebenaran tentulah ada pada salah satu dari keempat golongan ini, sebab
merekalah yang menempuh rupa-rupa jalan untuk mencarinya. Jika andai kata
semuanya tidak dapat mencapai kebenaran, maka tidak adalah harapan lagi untuk
mencapainya. Lalu al-Ghazali menumpuh jalan-jalan ini, mempelajari
sedalam-dalamnya ilmu dari keempat golongan tadi. Mulai dari ilmu kalam, ilmu
filsafat, kemudian ajaran bathiniyah dan akhirnya ia menempuh jalan sufi.
Setelah berada
pada jalan sufi, nyata sekali bagi al-Ghazali bahwa jalan ini tidak akan dapat
ditempuh melainkan dengan ilmu dan amal. Pokoknya adalah harus menempuh
tanjakan-tanjakan batin dan membersihkan diri. Hal ini perlu mengosongkan batin
dan kemudian mengisinya dengan zikir kepada Allah SWT.
Saat al-Ghazali
menetap di Syam selama dua tahun, ia melakukan ‘uzlah, khalwat, riadlah,
dan mujahadah, menurut tasawuf yang telah dipelajarinya, semua itu untuk
menjernihkan batin, agar mudah berzikir kepada Allah SWT sebagaimana mestinya.
Al-Ghazali
terus menerus melakukan ‘uzlah dan khalwat dalam lebih kurang
sepuluh tahun. Diwaktu itu jelaslah baginya berbagai rahasia yang tak terhitung
lagi.[11]
Kehidupan al-Ghazali di masa tuanya telah mantap coraknya sebagai
seorang sufi. Sebagai sufi ia berkeyakinan bahwa tasawuf adalah satu-satunya
jalan untuk mencapai kebenaran yang hakiki. Melalui tasawuf, seseorang dapat
berada dekat dengan Tuhan, bahkan dengan qalbunya dapat melihat Tuhan. Akan
tetapi jalan untuk menjadi sufi tidaklah mudah, penuh dengan ujian dan godaan.
Al- Ghazali sendiri menceritakan pengalamannya bertahun-tahun ia melatih diri,
meninggalkan segala kesenangan jasmani dan semata-mata mengabdi kepada Tuhan.[12]
Achmad Faizur Rosyad dalm bukunya Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al-Ghazali,
Tasawuf, Filsafat dan Tradisi menyatakan bahwa di akhir perjalanan studi
al-Ghazali mulai mendalami tasawuf. Kegiatan ini dilakukan karena dia percaya
bahwa kaum sufi tidak pernah main-main dalam mencari kebenaran. Mereka
benar-benar memiliki keinginan untuk mencapai tujuan. Ajarannya tidak dapat
dipahami secara tepat jika tidak diikuti dengan pengalaman langsung. Kaum sufi
bukanlah orang yang suka bermain kata-kata, tetapi langsung pada pengalaman
nyata dengan menghayati hidup dan berlatih mengenyampingkan dunia. setelah
menerjuni dunia tasawuf, al-Ghazali mulai mengabdikan diri dengan
latihan-latihan sufi untuk memurnikan jiwa dari kekejian, serta memperindah
akhlak dengan kebaikan dan zikir. Jalan sufi yang dia tempuh ini tidak berubah
hingga akhir hayatnya.[13]
Menurut al-Ghazali ada beberapa jenjang (maqamat) yang harus
dilalui oleh seorang calon sufi, yakni :
1.
Tobat
Ketahuilah bahwa taubat itu ibarat dari suatu pengertian yang
tersusun dan terkumpul dari tiga perkara yang secara tertib yaitu : ilmu,
keadaan, dan perbuatan. Maka ilmu yang pertama, keadaan yang kedua dan
perbuatan yang ketiga. Yang pertama mengharuskan yang kedua dan mengharuskan
ketiga dengan keharusan yang dituntut oleh berlakunya sunnatullah pada
kerajaan-Nya.
Adapun ilmu maka ia adalah mengetahui besarnya bahaya dosa dan
bahwa dosa-dosa itu menjadi dinding antara hamba dan setiap yang dicintai.
Apabila ia mengetahui demikian dengan pengetahuan yang dibuktikan dengan
keyakinan yang menguasai hati, niscaya berkobar dari pengetahuan ini rasa sakit
bagi hati disebabkan kehilangan kekasihnya, niscaya ia merasa sakit. Kalau rasa
sakitnya disebabkan perbuatannya, niscaya ia menyesal terhadap perbuatan yang
menghilangkan.[14]
Dan penyesalan yang melahirkan tindakan untuk bertobat. Sebagaimana Rasulullah
Saw bersabda, “ Penyesalan itu adalah tobat.” [15]
Tobat harus dilakukan dengan kesadaran hati yang penuh dan berjanji pada diri
sendiri untuk tidak mengulangi perbuatan dosa.
2.
Sabar
Al- Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu
daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya
melahirkan dorongan untuk berbuat jahat. Jika daya jiwa yang melahirkan
dorongan berbuat baik dapat mempengaruhi daya yang melahirkan perbuatan jahat,
maka seseorang sudah dapat diketegorikan sabar.
Selain itu juga dikatakan bahwa kesabaran memilki tiga macam :
Pertama, sabar atas keta’atan. Kedua, sabar dari kemaksiatan. Ketiga, sabar
menerima cobaan.[16]
Untuk memudahkan jalan menuju kesabaran, al-Ghazali memberikan
nasehat sebagai berikut :
a.
Seseorang harus membatasi jumlah dan nilai makanan yang dimakannya
karena dorongan syahwat kebanyakan timbul dari perut yang kenyang.
b.
Seseorang harus memelihara pandangan matanya dari hal-hal yang
mudah merangsang syahwat. Untuk itu seorang calon sufi sebaiknya menyendiri di
tempat yang jauh dari keramaian.
c.
Seseorang harus membiasakan diri melepaskan nafsunya pada jalan
yang diridhai Allah.
3.
Kefakiran
Kefakiran adalah suatu ibarat daripada tidak adanya hal-hal yang
dibutuhkan. Adapun tidak adanya hal-hal yang tidak dibutuhkan, maka itu tidak
disebut fakir. Apabila yang dibutuhkan itu wujud dan ia mampu padanya, maka
yang membutuhkan itu tidak disebut orang fakir.
Jika telah paham dengan pengertian di atas maka tidak akan ragu
lagi bahwa setiap yang wujud selain Allah Ta’ala itu fakir. Karena ia
membutuhkan kepada kelanggengan wujud pada keadaan yang kedua. Dan kelanggengan
wujud itu diperolehkan dari anugerah Allah Ta’ala untuk mewujudkannya.[17]
4.
Zuhud
Dalam hal ini seseorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan
duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhrawi. Menurut al-Ghazali, zuhud
itu bertingkat-tingkat. Tingkat tertinggi adalah zuhud yang dilakukan
semata-mata karena cinta kepada Allah. Untuk sampai pada tingkatan ini, hati
seharusnya hanya diisi dengan mengingat Allah. Ini hanya dapat diperoleh dengan
meninggalkan semua kesenangan duniawi.
5.
Tawakal
Tawakal artinya menyerahkan urusan kepada seseorang yang kemudian
disebut wakil, dan memercayakan kepadanya dalam urusan tersebut. Tentu saja
seseorang tidak akan menyerahkan urusan kepada orang lain ( wakil) kecuali ia
merasa tenang dengannya dan percaya kepadanya baik dari sudut ke-tsiqah-annya
maupun kecakapannya. Tawakal dalam pembahasan ini tentu saja tawakal kepada
Allah.[18]
Menurut al-Ghazali, bahwa keadaan tawakal itu mempunyai tiga
derajat dalam kuat dan lemahnya, yaitu :
a.
Derajat yang pertama yaitu apabila keadaannya pada hak Allah,
percaya kepada tanggungan-Nya dan pertolongan-Nya itu seperti keadaannya dalam
percaya kepada Wakil.
b.
Derajat yang kedua lebih kuat dari pada yang pertama, yaitu apabila
keadaannya bersama Allah Ta’ala itu seperti keadaan anak kecil bersama ibunya.
Karena anak kecil itu tidak mengenal kecuali kepada ibunya. Dia tidak
berlindung kepada seseorang kecuali kepada ibunya. Dan dia tidak berpegang
kecuali kepada ibunya. Maka barang siapa yang urusannya kepada Allah ta’ala dan
pandangannya kepada-Nya, pegangannya kepada-Nya, niscaya ia ditanggung oleh
Allah Ta’ala sebagaimana anak kecil ditanggung oleh ibunya, maka orang itu
adalah orang yang bertawakkal sejati.
c.
Derajat yang ketiga adalah derajat yang paling tinggi yaitu ia
dihadapan Allah Ta’ala dalam gerak dan tenangnya seperti mayat ditangan yang
memandikan.[19]
6.
Ma’rifah
Ma’rifah yaitu mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada.
Dalam kitab Minhajul Abidin kemudian telah diterjemahkan
oleh Zakaria Adham dengan judul buku Wasiat Imam Ghazali, menjelaskan
bahwa adapun yang lebih jelas dengan ilmu ma’rifah adalah orang harus mengenal
empat perkara :
a.
Mengenal dirinya
b.
Mengenal Tuhannya
c.
Mengenal dunia
d.
Mengenal akhirat.[20]
Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah
mendapatkan ilmu yang langsung diberikan Allah dengan cara banyak beribadah,
tanpa dipelajari. Ma’rifat paling lezat adalah yang paling mulia daripadaya.
Kadar kemuliaannya, menurut kadar kemuliaan ilmu yang telah diketahuinya.
Jikalau dalam ilmu yang diketahui itu ada yang lebih agung, lebih sempurna,
lebih mulia dan lebih besar, maka mengetahuinya itu sudah pasti menjadi ilmu
yang paling lezat, paling mulia dan paling agung. Dengan ini maka jelaslah
bahwa ilmu itu lezat. Ilmu yang paling lezat adalah ilmu yang mmenyangkut
tentang Allah Ta’ala. Dengan sifat-sifatNya, af’alNya dan cara pengaturanNya
dalam kerajaanNya dari besarnya Arasy sampai kepada sempadan bumi. Maka
seyogialah diketahui bahwa kelezatan ma’rifah itu lebih kuat dari
kelezatan-kelezatan lainnya.[21]
Menurut al-Ghazali, ma’rifat yang demikianlah yang menghasilkan
kebenaran sejati, seperti dikatakannya :
“Ilmu yakin itulah yang telah
menyingkapkan apa yang diketahui, sehingga dengannya tidak ada lagi keraguan
serta tidak dibarengi keliru ataupun ilusi.”
Ma’rifah itu hanya dapat diperoleh dengan jalan membersihkan hati
sebersih-bersihnya dari segala noda.[22]
Ma’rifat inilah yang kemudian menimbulkan mahabbah
(mencintai Allah). Menurut al-Ghazali ma’rifat dan mahabbah adalah
derajat tertinggi yang dapat dicapai seorang sufi. Mahabbah berarti
mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi (Tuhan).
Kadar cinta seorang sufi ditentukan oleh kedalaman ma’rifat yang dimilikinya.
Semakin kuat makrifatnya, maka semakin kuat mahabbah-nya.
D.
Penutup
1.
Kesimpulan
Perjalanan al-Ghazali dalam mencari jalan kebenaran tidak dilakukannya
dengan cara mendalami satu ilmu saja, dan tidak langsung bergabung ke dalam
kelompok sufi, namun al-Ghazali terlebih dahulu mempelajari ajaran satu persatu
dari kelompok pencari kebenaran yang dibaginya menjadi empat kelompok itu.
Setelah selesai pada satu kelompok dan ia masih belum menemukan apa yang
dicarinya maka al-Ghazali mempelajari kelompok berikutnya, hingga berakhir pada
kelompok sufi dan mengambil kesimpulan bahwa jalan yang ditempuh oleh para sufi
adalah jalan yang benar. Bagi al-Ghazali maqamat tertinggi sebagai
seorang sufi adalah makrifat.
Dan untuk sampai pada tingkat makrifat al-Ghazali sempat mengalami
masa kritis ulah keragu-raguannya, hingga akhirnya Allah memberikan nur untuk
menyembuhkan penyakitnya itu. Dan jadilah al-Ghazali memilih jalan sufi hingga
akhir hayatnya.
2.
Kritik dan saran
Demikianlah pembahasan tentang kehidupan al-Ghazali dan corak
tasawufnya dalam makalah ini, penulis berharap adanya kritikan dan saran yang
bersifat konstruktif dari para pembaca untuk tercapainya kesempurnaan dalam penulisan
dan pembahasan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abi , Imam
Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, 1991 , Ihya’ ‘Ulumuddin, Jilid
5, Bairut Libanon : Darulfikri
Adham, Zakaria,
1996, Wasiat Imam Ghazali, Jakarta
: Darul Ulum Press
Asmuni, Yusran,
1998, Dirasah Ilmiyah II, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Al-Ghazali,
Imam, 2003, Ihya’ Ulumiddin, vol 7 & 8, Ter. Moh. Zuhri dkk,
Semarang : CV. Asy Syifa’
Faizur, Achmad
Rosyad, 2004, Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al-Ghazali, Tasawuf, Filsafat
dan Tradisi, Yogyakarta : Kutub
Ghazali, Al,
1990, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin, Beirut : Muassasah Al-Kutub
Al-Tsaqafiyyah, Terj. Irwan Kurniawan, 1997, Mutiara Ihya’ Ulumuddin,
Bandung : Mizan
Ghazali, Imam, Al-Munqiz
Min ad-Dhalal, ter. Abdullah bin Nuh, 1966, Pembebas dari Kesesatan,
Jakarta : Tintamas
Halim, Abdul
Mahmoud, tt, Hal Ikhwal Tasauf Analisa Tentang Almunqidz Minadhdhalal,
Indonesia : Daarul Ihya’
Hanafi, Ahmad,
1990, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta bulan bintang
Husein, Zaid Al
Hamid, 1995, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Jakarta : Pustaka Amani
Hawa, Sa’id,
2010, Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyatun-nafs Terpadu Intisari Ihya’
Ulumuddin Al- Ghazali, Jakarta : Robbani Press
Kartanegara,
Mulyadi, 2006 Menyelami Lubuk Tasawuf, Jakarta : Erlangga
Muhammad, Asysyaikh
Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi, Mua’izatul Mukminin Min Ihya’ ‘Ulumuddin,
Ter. Moh. Abdai Rothomy, Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin, tt, Bandung
: Diponegoro
Poerwantana,
dkk, 1986, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : Cv. Rosda
Redaksi, Dewan,
1994, Ensiklopedi Islam, Jakarta : PT Ichtiar Hoeve
Redaksi, Dewan
Taufik Abdullah dkk, , tt, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, Jakarta : PT Ichtiar Hoeve.
[1] Imam Abi Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya’
‘Ulumuddin, (Bairut Libanon : Darulfikri, 1991), Jilid 5,hlm. 10
[2] Ahmad Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1990), hlm. 135
[3] Ibid
[4] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : Cv.
Rosda, 1986), hlm. 166
[5] Imam Ghazali, Al-Munqiz Min ad-Dhalᾱl,
ter. Abdullah bin Nuh, Pembebas dari Kesesatan, (
Jakarta : Tintamas, 1966), hlm. 6
[6] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta : PT Ichtiar
Hoeve, 1994), hlm. 25-26
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ahmad Hanafi, op.cit,
hlm. 140
[12] Dewan Redaksi, op.cit. hlm. 27
[13] Achmad Faizur Rosyad, Mengenal Alam Suci Menapak Jejak
Al-Ghazali, Tasawuf, Filsafat dan Tradisi, ( Yogyakarta : Kutub, 2004),
hlm. 117
[14] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, vol 7, Ter. Moh. Zuhri
dkk, ( Semarang : CV. Asy Syifa’, 2003), hlm.136
[15] Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ ‘Ulumuddin,( Beirut : Muassasah
Al-Kutub Al-Tsaqafiyyah, 1990), Terj. Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’
Ulumuddin, ( Bandung : Mizan, 1997), hlm. 306
[16] Sa’id Hawa, Mensucikan Jiwa Konsep Tazkiyatun-nafs Terpadu
Intisari Ihya’ Ulumuddin Al- Ghazali, (Jakarta : Robbani Press, 2010), hlm.
370
[17] Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, vol 8, Ter. Moh. Zuhri
dkk, ( Semarang : CV. Asy Syifa’, 2003), hlm.126
[18] Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, ( Jakarta :
Erlangga, 2006), hlm. 199-200
[19] Imam Al-Ghazali, vol. 8, op.cit,
126
[20] Zakaria Adham, Wasiat Imam Ghazali, ( Jakarta : Darul Ulum
Press, 1996), cet.7, hlm. 38
[21] Imam Al-Ghazali, vol. 8,op.cit, 550
[22] Dewan Redaksi Taufik Abdullah dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta : PT Ichtiar Hoeve, tt), hlm. 148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar