Rabu, 23 April 2014

HAKIKAT BERPIKIR ILMIAH




A.    PENDAHULUAN
Berpikir, penalaran, dan logika merupakan aktifitas otak yang tak terlepas dari kehidupan manusia. Sebab manusia adalah hewan yang berpikir. Berpikir juga membutuhkan penalaran guna mendapatkan suatu kesimpulan dan logika yang tepat agar pengetahuan yang dihasilkannya valid. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan berpikir itu ? lalu apa pula penalaran dan logika ?.
Guna memberikan pemahaman lebih lanjut, maka dalam makalah ini akan dibahas tiga poin besar yakni hakikat berpikir, penalaran, logika dan beberapa hal yang terkait dengan pembahasan tiga poin tersebut.
B.     PEMBAHASAN
1.      Hakikat berpikir
a.       Pengertian berpikir
Secara umum maka tiap perkembangan dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut berpikir. Umpamanya, jika seseorang bertanya,”apa yang sedang kamu pikirkan?”, mungkin jawabannya, “saya sedang memikirkan keluarga saya”. Hal ini berarti bahwa bayangan, kenangan dan sebagainya hadir dan ikut-mengikuti dalam kesadaran saya. Karena itu maka definisi yang paling umum dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep.[1]Pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berpikir yang berdisiplin, dimana seseorang yang berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan idea dan konsep yang sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu dalam hal ini adalah pengetahuan.[2]
Menurut pemikir komunis pemikiran adalah hasil dari refleksi (pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta. Pemikiran itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap otak.[3] 
Sejalan dengan pendapat di atas, pendapat lain mengatakan bahwa pemikiran adalah pemindahan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut.[4]Pikiran adalah bisikan kata yang amat lembut.[5]
Burhanuddin Salam berpendapat bahwa berpikir merupakan suatu bentuk kegiatan  akal/ratio manusia dengan mana pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujukan untuk mencapai kebenaran. Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri dalam batin dengan manisfestasinya ialah : mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, menunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu, mengolong-golongkan, membandingkan-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan lain-lain.[6]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa berpikir adalah suatu bentuk kegiatan akal manusia yang diarahkan oleh pengetahuan melalui panca indera, diolah dan ditujukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
b.      Metode berpikir
Metode berpikir adalah cara yang menjadi dasar bagi berlangsungnya aktivitas akal atau aktivitas berpikir sesuai dengan karakter dan faktanya. Salah satu metode berpikir adalah metode rasional.
Metode rasional adalah metode tertentu dalam pengkajian yang ditempuh untuk mengetahui realitas sesuatu yang dikaji, dengan jalan memindahkan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak, disertai dengan adanya sejumlah informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. Selanjutnya, otak akan memberikan penilaian terhadap fakta tersebut. Penilaian ini adalah pemikiran atau kesadaran rasional. Metode rasional adalah metode alamiah untuk menghasilkan kesadaran/pemahaman (al-idrak-comprehension) sebagaimana adanya suatu kesadaran/pemahaman. Proses metode inilah yang akan dapat mewujudkan aktivitas akal-atau dengan kata lain, mewujudkan kesadaran terhadap segala sesuatu. Metode ini merupakan satu-satunya metode berpikir. Di luar metode ini –yang acapkali disebut metode berpikir, seperti metode ilmiah (at-thariqah al-‘ilmiyyah, scientific method)dan metode logika ( at-thariqah al-mantiqiyyah, logical method)-hanyalah merupakan cabang dari metode rasional-seperti metode ilmiah- atau merupakan salah satu cara yang dituntut dalam pengkajian sesuatu, atau merupakan sarana-sarana pengkajian sesuatu, seperti apa yang disebut metode logika. Semua ini bukanlah metode-metode dasar dalam proses berpikir. Ini dikarenakan metode berpikir hanya satu yakni berpikir rasional.[7]
Pada referensi yang sama terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa ada dua metode dalam berpikir, yaitu : 1. Metode ilmiah ( at-thariqah al-‘aqliyyah, rational method), 2. Metode rasional (at-thariqah al-‘ilmiyyah, scientific method). Namun metode ilmiah tidak layak diterapkan kecuali pada beberapa cabang pengetahuan, yaitu pada cabang pengkajian terhadap benda material yang tunduk pada percobaan. Sebaliknya, metode rasional layak diterapkan pada segala pembahasan.[8] Sekilas pendapat ini jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya, namun setelah dianalisa lebih lanjut pada dasarnya kedua metode ini tidak bertolak belakang, sebab keduanya sepakat mengatakan bahwa metode rasional adalah metode inti dalam berpikir sedangkan metode ilmiah adalah bagian dari metode rasional. 

c.       Azas-azas pemikiran
Dalam aktivitas berpikir kita tidak boleh melalaikan patokan pokok yang oleh logika disebut Asas berpikir.
Asas sebagaimana kita ketahui adalah pangkal atau asal darimana sesuatu itu muncul dan dimengerti. Maka “Asas Pemikiran” adalah pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benarnya suatu pemikiran tergantung terlaksana tidaknya asas-asas ini. Ia adalah dasar daripada pengetahuan dan ilmu. Asas pemikiran ini dapat dibedakan menjadi :
1)      Asas identitas
Ia adalah dasar dari semua pemikiran dan bahkan asas pemikiran yang lain. Kita tidak mungkin dapat berpikir tanpa asas ini. Prinsip ini mengatakan bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainnya. Jika kita mengetahui bahwa sesuatu itu adalah Z maka ia adalah Z dan bukan A, B, atau C.
2)      Asas kontradiksi
Prinsip ini mengatakan bahwa penginkaran sesuatu tidak mungkin sama dengan pengakuannya. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak mungkin pada saat itu ia adalah A, sebab realitas ini hanya satu sebagaimana disebut oleh asas identitas. Dengan kata lain : dua kenyataan yang kontradiktoris tidak mungkin bersama-sama secara simultan.  
3)      Asas penolakan kemungkinan ketiga
Asas ini mengatakan bahwa antara pengakuan dan pengingkaran kebenarannya terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga tidak mungkin salah keduanya.[9]
2.      Penalaran
a.       Pengertian penalaran
Penalaran (reasoning) mempunyai beberapa pengertian :
1)      Proses menarik kesimpulan dari pernyataan-penyataan
2)      Penerapan logika dan atau pada pemikiran abstrak dalam memecahkan masalah atau tindakan perencanaan
3)      Kemampuan untuk mengetahui beberapa hal tanpa bantuan langsung persepsi indrawi atau pengalaman langsung.[10]
Menurut A.Susanto, penalaran adalah proses berpikir yang menghasilkan pengetahuan. Agar buah pengetahuan yang berdasarkan penalaran itu mempunyai bobot kebenaran, maka proses berpikir perlu dan harus dilakukan dengan suatu cara atau metode tertentu. Dalam penalaran proposisi-proposisi yang menjadi dasar penyimpulan disebut premis, sedangkan kesimpulannya disebut konklusi.[11]
The Liang Gie berpendapat bahwa penalaran adalah proses pemikiran manusia yang berusaha tiba pada kenyataan baru yang merupakan kelanjutan runtut dari pernyataan lainyang telah diketahui. Pernyataan yang telah diketahui itu disebut pangkal pikir (premise), sedangkan pernyataan baru yang diturunkan dinamakan kesimpulan (conclusion).[12]
Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proes berpikir logis, dimana berpikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan  logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri pula.[13]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penalaran adalah proses berpikir yang menyandarkan pada analisis dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan.
b.      Prinsip-prinsip penalaran
Prinsip-prinsip penalaran ada empat yang terdiri atas tiga prinsip dari Aristoteles dan satu prinsip dari George Leibniz. Prinsip penalaran dari Aristoteles adalah :
1)      Prinsip identitas. Prinsip ini dalam bahasa latin ialah principium identetatis. Prinsip identitas berbunyi: “sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri”. Dengan kata lain; ”sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”.
2)      Prinsip kontradiksi (principium contradictionis). Prinsip kontradiksi berbunyi: “sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat  yang sama”. Dengan kata lain: “sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan non-p”.
3)      Prinsip eksklusi tertii (principium exclusi tertii),yakni prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip eksklusi tertii berbunyi: “sesuatu bila dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah”. Dengan kata lain: “sesuatu x mestilah p atau non-p tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti dari prinsip ini adalah dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya, sifat p atau non-p.
4)      Di samping tiga prinsip yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas, seorang filsuf Jerman Leibniz menambahkan satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi prinsip identitas, yaitu prinsip cukup alasan (pricipium rationalis sufficientis), yang berbunyi: “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”. Dengan kata lain: “ adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”.[14]
Menurut analisa pemakalah, penalaran akan menghasilkan suatu kesimpulan yang benar jika keempat prinsip di atas digunakan karena prinsip satu dengan lainnya saling berkaitan. 
3.      Logika
a.       Pengertian
Kosakata “logika” diturunkan dari kata sifat “ logike” (bahasa yunani) yang berhubungan erat dengan kata benda “logos” yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu.[15]
K. Prent C.M..J. Adisubrata dkk, seperti yang dikutip Mundiri dari Kamus Latin-Indonesia, “Logika” adalah bahasa latin berasal dari kata “Logos” yang berarti perkataan atau sabda.[16]
The Liang Gie, sebagaimana dikutip oleh Afraniati Affan dalam Kamus Logika halaman 131, menjelaskan bahwa logika adalah bidang pengetahuan dalam lingkungan filsafat yang mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan-aturan penalaran ( correct reasoning).[17]
Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat menyebutkan bahwa logika adalah :
a)      Teori mengenai syarat-syarat penalaran yang sah
b)      Studi tentang aturan-aturan mengenai penalaran yang tepat serta bentuk dari pola pikiran yang masuk akal atau sah.[18]
Menurut Amsal Bakhtiar logika adalah saran untuk berpikir sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada satu.[19]
Senada dengan pendapat di atas, A. Susanto menjelaskan bahwa logika adalah cabang filsafat yang membahas tentang asas-asas, aturan-aturan, dan prosedur dalam mencapai pengetahuan yang benar, yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.[20]
Pengertian logika berdasarkan beberapa pendapat di atas adalah sarana atau alat yang mengatur kerja otak agar berpikir sistematis, valid, dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan terhindar dari kesalahan.
b.      Sejarah perkembangan logika
1)      Masa Yunani Kuno
Istilah logika pertam kali digunakan oleh Zeno dari Citium (± 340-265 SM) tokoh Stoa. Namun, sudah terdapat jauh sebelumnya kaum Sofis seperti Gorgias (±438- 375 SM) dari Lionti (Sicilia) telah memperbincangkan masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran.[21]
Sokrates (470-399 SM) dengan metode Sokrotesnya, yakni ironi dan maieutika, de facto mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh atau peristiwa kongkret untuk kemudian dicari ciri umumnya. Oleh Plato nama aslinya Aristokles (428-437 SM) metode Sokrotes tersebut diumumkan (dibuat umum) sehingga menjadi teori idea, yakni teori Dinge an sich versi Plato.  Sedangkan oleh Aristoteles dikembangkan menjadi teori tentang ilmu. Menurut Plato, ide adalah bentuk mula atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut prototypa, sedangkan benda individual duniawi  hanya merupakan bentuk tiruan yang tak sempurna, disebut ectype. Gagasan Plato ini banyak memberikan dasar perkembangkan logika, lebih-lebih yang bertalian dengan masalah ideogenesis, dan masalah penggunaan bahasa dalam pemikiran. Namun demikian logike episteme (logika ilmiah) sesungguhnya baru dapat dikatakan terwujud berkat karya Aristoleles (384-322).
2)      Di Dunia Islam
Tidak banyak buku yang menjelaskan tentang logika di dunia Islam. Seakan ada mata rantai yang terputus ketika para ahli sejarah menukilkan perkembangan sejarah logika. Dari beberapa buku dijelaskan bahwa setelah zaman klasik di Yunani, adab pertengahan (abad 9-15 M), abad modern (mulai abad 17 M). Ada rentang waktu yang panjang disebut dengan zaman kegelapan, yaitu setelah Hellenisme Rumawi. Ketika filusuf Yunani telah keluar dari negerinya. Minat terhadap ilmu pengetahuan mulai menurun. Di saat barat mengalami kemunduran pada saat yang bersamaan Islam mengalami perkembangannya. Para khalifah setelah Nabi besar Muhammad saw. Melakukan ekspansi wilayah Islam semakin luas, mereka menaklukkan daerah lain Spanyol, para pendeta terpaksa tunduk kepada khalifah.
Cara masuknya logika Aristoteles ke dunia Islam melalui dua jalan yaitu diskusi dan penterjemahan. Pengenalan logika secara resmi yang diprakarsai oleh pemerintah terjadi pada masa kekhalifahan bani Abbas ketika kekuasaan dipegang oleh khalifah al-Manshur (136-158 H/ 753-774 M) dan puncaknya pada masa al-Ma’mun (190-218 H/813-833M). Ada beberapa motif yang mendorong khalifah al-Manshur melakukan penerjemahan ini. Pertama, semakin banyak terjadi dialog dan diskusi antara orang-orang Islam dengan para al-Kitab, Yahudi dan Kristen. Masing-masing mereka menggunakan logika Aristoteles. Kedua, masuknya pemahaman dan ajaran aqidah agama Persia ke dalam masyarakat Islam. Orang Persia sudah terbiasa mempergunakan logika sebagai seni beragumentasi. Oleh karena itu, umat Islam merasa perlu mempelajari logika Aristoteles untuk menentang orang-orang beragama Persia itu.[22]
3)      Abad Pertengahan
Hingga tahun 1141 buku-buku yang digarap hanyalah De Interpretatione dan Categories karya Aristoteles. Eisagoge karya Porphyrius dan buku Traktat Boethius yang mencakup masalah pembagian, masalah metode debat, silogisme kategoris dan hipotesis, biasa disebut logika lama. Setelah 1141, keempat karya Aristoteles lainnya menjadi terkenal lebih luas disebut sebagai logika  baru. Logika lama dan logika baru kemudian bersama disebut logika antik.
Pada abad XIII-XV berkembang logika modern dengan tokoh-tokoh yang mnonjol pada saat itu adalah Petrus Hispanus (1210-1278). Roger Bacon (1214-1292), Raymundus Lullus (1232-1315), Wilhelmus Ockham (1295-1349) dan lain-lain. Raymundus Lullus menemukan logika baru yang disebut Asr Magma, yan merupakan semacam aljabar pengertian, aljabar itu bermaksud membuktikan kebenaran-kebenaran yang tertinggi. Catatan penting perkembangan pemikiran pada abad pertengahan ini adalah karya Boethius yang orisinil di bidang soligesme hipotesis dan munculnya logika hubungan, penyempurnaan teori silogisme.[23]
4)      Abad Modern
Pada masa ini terdapat penemuan-penemuan baru dalam logika. Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan metode induktif dalam karya Novum Organum( London, 1620), dan logika matematika dalam Discourse de la Methode (1637) karya Rene Descartes. Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke (1632-1704) dalam karyanya yang bernama Essay Concerning Human Understanding (1690), kedua tokoh ini memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan bahasa di dalam pengalaman. Kemudian ajaran Aristoteles telah berwarna nominalis. Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar. Leibniz menciptakan simbolisme bagi konsep-konsep, ruang lingkup kelompok, ekuivalensi kelompok dan ekuivalensi konseptual.[24]

c.       Pembagian logika
Logika dapat disistematiskan menjadi beberapa golongan, tergantung dari mana kita meninjaunya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat dibedakan menjadi :
1)      Logika Natural, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia. Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai hukum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya inteligensi seseorang ia dapat membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang bertentangan tidaklah sama.
2)      Logika Artifisiasi atau Logika Ilmiah yang bertugas membantu logika natural. Logika ini memperhalus, mempertajam serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efesien, mudah dan aman.
Dilihat dari segi obyeknya, dikenal sebagai Logika Formal dan Logika Material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda secara radikal yakni cara berpikir dari umum ke khusus dan cara berpikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berpikir deduktif dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertentangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berpikir benar. Cara berpikir induktif dipergunakan dalam logika material, yang mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dan kenyataan. Ia menilai hasil kenyataan empiris. Cabang logika formal disebut juga Logika Minor, Logika Material disebut Logika Mayor.[25]
Aceng Rachmat dkk menyebutkan bahwa berdasarkan arahnya, logika dibedakan sebagai logika deduktif dan induktif. Logika deduktif khususnya logika tradisional bermula dari zaman Yunani Kuno sekitar abad ketiga SM. Logika ini memproses pikiran, baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan atas pernyataan umum yang sudah lebih dahulu diketahui. Pernyataan yang berisi sesuatu yang sudah diketahui disebut anteseden (premis) yang merupakan pernyataan dasar dan pernyataan yang berisi pengetahuan baru yang ditarik dari pernyataan dasar itu disebut konsekuen (kesimpulan).[26] 
Sedangkan logika induktif memproses pengetahuan berdasarkan fakta-fakta khusus yang diperoleh dai pengetahuan indriawi/ melalui pengamatan. Dari sejumlah fakta atau gejala khusus itu ditarik kesimpulan umum berupa pengetahuan yang baru yang berlaku untuk sebagian atau keseluruhan gejala tersebut. Jadi,arah pemikiran bergerak dari data yang bersifat khusus kepada kesimpulan yang bersifat umum. Logika induktif seperti itu di antaranya dilakukan dalam analisi statistik yang menggunakan data kuantitatif sebagai dasar penarikan kesimpulan dan dalam analisi data kualitatif yang menggunakan data yang mungkin bersifat verbal.[27]
d.      Manfaat logika
Logika membantu manusia berpikir lurus, efesien tepat dan teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan. Dalam segala aktifitas berpikir dan bertindak, manusia mendasarkan diri pada prinsip ini. Logika menyampaikan kepada berpikir benar, lepas dari berbagai prasangka emosi dan keyakinan seseorang ; karena ia mendidik manusia bersikap obyektif, tegas dam berani, suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat.[28]
Pada referensi lain ditemukan bahwa faedah mempelajari logika adalah sebagai berikut :
1)      Logika menyatakan, menjelaskan dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang dapat dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan
2)      Pelajaran logika menambah daya berpikir abstrak dan dengan demikian melatih dan mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual
3)      Logika menengah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan autoritas
4)      Menempatkan persoalan dan menunaikan tugas pada situasi dan kondisi yang tepat.[29] 
C.     PENUTUP
Kesimpulan
Berpikir adalah suatu bentuk kegiatan akal manusia yang diarahkan oleh pengetahuan melalui panca indera, diolah dan ditujukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.Guna mencapai kesimpulan yang benar tentang suatu pengetahuan, akal mestilah menggunakan penalaran yang benar dan logika yang tepat. Prinsip-prinsip penalaran ada empat yakni : prinsip identitas, prinsip kontradiksi, prinsip eksklusi tertii, dan prinsip cukup alasan.
Dan logika adalah sarana atau alat yang mengatur kerja otak agar berpikir sistematis, valid, dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan terhindar dari kesalahan.


DAFTAR PUSTAKA
Affan, Afraniati, Logika Dasar, Padang : Hayfa Press, 2009
An-Nabhani,Taqiyuddin,  Hakekat Berpikir, Jakarta: Hizbut Tahrir, 2006
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta : Bumi Aksara, 2011
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007
Bagus,Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia, 2002
Liang, The Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogakarta : Liberty Yogyakarta, 1991
Mundiri, Logika, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
S. Suriasumantri , Jujun, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta : PT Gramedia, 1985
S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer, Jakarta: Cv. Muliasari, 2001
Salam, Burhanuddin, Logika Formal, Jakarta : PT  Bina Aksara, 1988
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2010
Sing, Parpat Mehza dan Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisional, Bandung : Bina Cipta, 1988


[1] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta : PT Gramedia, 1985),h.52
[2] Ibid
[3] Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, (Jakarta: Hizbut Tahrir, 2006), h. 5
[4] Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, h. 25
[5]Mundiri, Logika, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.8
[6] Burhanuddin Salam, Logika Formal, ( Jakarta : PT  Bina Aksara, 1988),h.1
[7]Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, h. 28-29
[8] Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, h. 52-53
[9]Mundiri, Logika, h.10-11
[10] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia, 2002),h. 794
[11]  A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta : Bumi Aksara, 2011), h.148
[12] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogakarta : Liberty Yogyakarta, 1991),h.21
[13] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer, ( Jakarta : Cv. Muliasari, 2001),h. 42
[14] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara, 2010),h. 111-112 
[15] Parpat Sing Mehza dan Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisional, (Bandung : Bina Cipta, 1988), h.1
[16] Mundiri, Logika,h.1
[17] Afraniati Affan, Logika Dasar, (Padang : Hayfa Press, 2009), h. 1
[18] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 519-520
[19] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 212
[20] A. Susanto, Filsafat Ilmu, h.145
[21]Poespoprodjo, Logika Scientika, h. 28-29
[22] Afraniati Affan, Logika Dasar, h.12-15
[23] Afraniati Affan, Logika Dasar, h.20-21
[24] Afraniati Affan, Logika Dasar, h.21
[25] Mundiri, Logika, h. 13-14
[26] Aceng Rachmat dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2013),h. 230-231
[27] Ibid
[28] Mundiri, Logika, h. 15
[29] Afraniati Affan, Logika Dasar, h. 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar