A.
PENDAHULUAN
Berpikir, penalaran, dan logika merupakan aktifitas otak yang tak
terlepas dari kehidupan manusia. Sebab manusia adalah hewan yang berpikir.
Berpikir juga membutuhkan penalaran guna mendapatkan suatu kesimpulan dan
logika yang tepat agar pengetahuan yang dihasilkannya valid. Lalu apa
sebenarnya yang dimaksud dengan berpikir itu ? lalu apa pula penalaran dan
logika ?.
Guna memberikan pemahaman lebih lanjut, maka dalam makalah ini akan
dibahas tiga poin besar yakni hakikat berpikir, penalaran, logika dan beberapa
hal yang terkait dengan pembahasan tiga poin tersebut.
B.
PEMBAHASAN
1.
Hakikat berpikir
a.
Pengertian
berpikir
Secara umum maka tiap perkembangan dalam idea, konsep dan
sebagainya dapat disebut berpikir. Umpamanya, jika seseorang bertanya,”apa yang
sedang kamu pikirkan?”, mungkin jawabannya, “saya sedang memikirkan keluarga
saya”. Hal ini berarti bahwa bayangan, kenangan dan sebagainya hadir dan
ikut-mengikuti dalam kesadaran saya. Karena itu maka definisi yang paling umum
dari berpikir adalah perkembangan idea dan konsep.[1]Pemikiran
yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berpikir yang berdisiplin, dimana
seseorang yang berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan idea dan konsep yang
sedang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu akan
diarahkannya pada suatu tujuan tertentu. Tujuan tertentu itu dalam hal ini
adalah pengetahuan.[2]
Menurut pemikir komunis pemikiran adalah hasil dari refleksi
(pemantulan) fakta terhadap otak. Artinya, pengetahuan mereka tentang fakta. Pemikiran
itu terbentuk dari fakta, otak, dan proses refleksi fakta terhadap otak.[3]
Sejalan dengan pendapat di atas, pendapat lain mengatakan bahwa
pemikiran adalah pemindahan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke
dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan
digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut.[4]Pikiran
adalah bisikan kata yang amat lembut.[5]
Burhanuddin Salam berpendapat bahwa berpikir merupakan suatu bentuk
kegiatan akal/ratio manusia dengan mana
pengetahuan yang kita terima melalui panca indera diolah dan ditujukan untuk
mencapai kebenaran. Aktivitas berpikir adalah berdialog dengan diri sendiri
dalam batin dengan manisfestasinya ialah : mempertimbangkan, merenungkan,
menganalisis, menunjukkan alasan-alasan, membuktikan sesuatu,
mengolong-golongkan, membandingkan-bandingkan, menarik kesimpulan, meneliti
suatu jalan pikiran, mencari kausalitasnya, membahas secara realitas dan
lain-lain.[6]
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
berpikir adalah suatu bentuk kegiatan akal manusia yang diarahkan oleh
pengetahuan melalui panca indera, diolah dan ditujukan untuk mencapai suatu
tujuan tertentu.
b.
Metode
berpikir
Metode berpikir adalah cara yang menjadi dasar bagi berlangsungnya
aktivitas akal atau aktivitas berpikir sesuai dengan karakter dan faktanya.
Salah satu metode berpikir adalah metode rasional.
Metode rasional adalah metode tertentu dalam pengkajian yang
ditempuh untuk mengetahui realitas sesuatu yang dikaji, dengan jalan
memindahkan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak,
disertai dengan adanya sejumlah informasi terdahulu yang akan digunakan untuk
menafsirkan fakta tersebut. Selanjutnya, otak akan memberikan penilaian
terhadap fakta tersebut. Penilaian ini adalah pemikiran atau kesadaran
rasional. Metode rasional adalah metode alamiah untuk menghasilkan
kesadaran/pemahaman (al-idrak-comprehension) sebagaimana adanya suatu
kesadaran/pemahaman. Proses metode inilah yang akan dapat mewujudkan aktivitas
akal-atau dengan kata lain, mewujudkan kesadaran terhadap segala sesuatu.
Metode ini merupakan satu-satunya metode berpikir. Di luar metode ini –yang
acapkali disebut metode berpikir, seperti metode ilmiah (at-thariqah
al-‘ilmiyyah, scientific method)dan metode logika ( at-thariqah
al-mantiqiyyah, logical method)-hanyalah merupakan cabang dari metode
rasional-seperti metode ilmiah- atau merupakan salah satu cara yang dituntut
dalam pengkajian sesuatu, atau merupakan sarana-sarana pengkajian sesuatu,
seperti apa yang disebut metode logika. Semua ini bukanlah metode-metode dasar
dalam proses berpikir. Ini dikarenakan metode berpikir hanya satu yakni
berpikir rasional.[7]
Pada referensi yang sama terdapat pendapat lain yang mengatakan
bahwa ada dua metode dalam berpikir, yaitu : 1. Metode ilmiah ( at-thariqah
al-‘aqliyyah, rational method), 2. Metode rasional (at-thariqah
al-‘ilmiyyah, scientific method). Namun metode ilmiah tidak layak
diterapkan kecuali pada beberapa cabang pengetahuan, yaitu pada cabang
pengkajian terhadap benda material yang tunduk pada percobaan. Sebaliknya,
metode rasional layak diterapkan pada segala pembahasan.[8]
Sekilas pendapat ini jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya, namun setelah
dianalisa lebih lanjut pada dasarnya kedua metode ini tidak bertolak belakang,
sebab keduanya sepakat mengatakan bahwa metode rasional adalah metode inti
dalam berpikir sedangkan metode ilmiah adalah bagian dari metode rasional.
c.
Azas-azas
pemikiran
Dalam aktivitas berpikir kita tidak boleh melalaikan patokan pokok
yang oleh logika disebut Asas berpikir.
Asas sebagaimana kita ketahui adalah pangkal atau asal darimana
sesuatu itu muncul dan dimengerti. Maka “Asas Pemikiran” adalah pengetahuan
dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini bagi
kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benarnya suatu pemikiran tergantung
terlaksana tidaknya asas-asas ini. Ia adalah dasar daripada pengetahuan dan
ilmu. Asas pemikiran ini dapat dibedakan menjadi :
1)
Asas
identitas
Ia adalah dasar dari semua pemikiran dan bahkan asas pemikiran yang
lain. Kita tidak mungkin dapat berpikir tanpa asas ini. Prinsip ini mengatakan
bahwa sesuatu itu adalah dia sendiri bukan lainnya. Jika kita mengetahui bahwa
sesuatu itu adalah Z maka ia adalah Z dan bukan A, B, atau C.
2)
Asas
kontradiksi
Prinsip ini mengatakan bahwa penginkaran sesuatu tidak mungkin sama
dengan pengakuannya. Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu bukan A maka tidak
mungkin pada saat itu ia adalah A, sebab realitas ini hanya satu sebagaimana
disebut oleh asas identitas. Dengan kata lain : dua kenyataan yang
kontradiktoris tidak mungkin bersama-sama secara simultan.
3)
Asas
penolakan kemungkinan ketiga
Asas ini mengatakan bahwa antara pengakuan dan pengingkaran
kebenarannya terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan
pertentangan mutlak, karena itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga
tidak mungkin salah keduanya.[9]
2.
Penalaran
a.
Pengertian
penalaran
Penalaran
(reasoning) mempunyai beberapa pengertian :
1)
Proses
menarik kesimpulan dari pernyataan-penyataan
2)
Penerapan
logika dan atau pada pemikiran abstrak dalam memecahkan masalah atau tindakan
perencanaan
3)
Kemampuan
untuk mengetahui beberapa hal tanpa bantuan langsung persepsi indrawi atau
pengalaman langsung.[10]
Menurut
A.Susanto, penalaran adalah proses berpikir yang menghasilkan pengetahuan. Agar
buah pengetahuan yang berdasarkan penalaran itu mempunyai bobot kebenaran, maka
proses berpikir perlu dan harus dilakukan dengan suatu cara atau metode
tertentu. Dalam penalaran proposisi-proposisi yang menjadi dasar penyimpulan
disebut premis, sedangkan kesimpulannya disebut konklusi.[11]
The Liang Gie
berpendapat bahwa penalaran adalah proses pemikiran manusia yang berusaha tiba
pada kenyataan baru yang merupakan kelanjutan runtut dari pernyataan lainyang
telah diketahui. Pernyataan yang telah diketahui itu disebut pangkal pikir (premise),
sedangkan pernyataan baru yang diturunkan dinamakan kesimpulan (conclusion).[12]
Penalaran
merupakan suatu proses berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa
pengetahuan. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri
tertentu. Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berpikir yang secara luas
dapat disebut logika. Dalam hal ini maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk
penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa
kegiatan penalaran merupakan suatu proes berpikir logis, dimana berpikir logis
disini harus diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu,
atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Ciri yang kedua dari
penalaran adalah sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran merupakan
suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan
kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika
penalaran yang bersangkutan. artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan
analisis yang mempergunakan logika
ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya
tersendiri pula.[13]
Dari beberapa
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa penalaran adalah proses berpikir yang
menyandarkan pada analisis dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan.
b.
Prinsip-prinsip
penalaran
Prinsip-prinsip penalaran ada empat yang terdiri atas tiga prinsip
dari Aristoteles dan satu prinsip dari George Leibniz. Prinsip penalaran dari
Aristoteles adalah :
1)
Prinsip
identitas. Prinsip ini dalam bahasa latin ialah principium identetatis.
Prinsip identitas berbunyi: “sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri”.
Dengan kata lain; ”sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan
itu sendiri bukan yang lain”.
2)
Prinsip
kontradiksi (principium contradictionis). Prinsip kontradiksi berbunyi:
“sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu
yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar
dan tidak benar pada saat yang sama”.
Dengan kata lain: “sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan
non-p”.
3)
Prinsip
eksklusi tertii (principium exclusi tertii),yakni prinsip penyisihan
jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip eksklusi
tertii berbunyi: “sesuatu bila dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal
tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah”. Dengan
kata lain: “sesuatu x mestilah p atau non-p tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti
dari prinsip ini adalah dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak
mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang
dapat dimilikinya, sifat p atau non-p.
4)
Di
samping tiga prinsip yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas, seorang filsuf
Jerman Leibniz menambahkan satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan
bagi prinsip identitas, yaitu prinsip cukup alasan (pricipium rationalis
sufficientis), yang berbunyi: “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu
hal tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba
berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”. Dengan kata lain: “ adanya sesuatu
itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada
keadaan sesuatu”.[14]
Menurut analisa
pemakalah, penalaran akan menghasilkan suatu kesimpulan yang benar jika keempat
prinsip di atas digunakan karena prinsip satu dengan lainnya saling berkaitan.
3.
Logika
a.
Pengertian
Kosakata “logika” diturunkan dari kata sifat “ logike” (bahasa
yunani) yang berhubungan erat dengan kata benda “logos” yang artinya pikiran atau
kata sebagai pernyataan dari pikiran itu.[15]
K. Prent C.M..J. Adisubrata dkk, seperti yang dikutip Mundiri dari
Kamus Latin-Indonesia, “Logika” adalah bahasa latin berasal dari kata “Logos”
yang berarti perkataan atau sabda.[16]
The Liang Gie, sebagaimana dikutip oleh Afraniati Affan dalam Kamus
Logika halaman 131, menjelaskan bahwa logika adalah bidang pengetahuan dalam
lingkungan filsafat yang mempelajari secara teratur asas-asas dan aturan-aturan
penalaran ( correct reasoning).[17]
Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat menyebutkan bahwa logika adalah :
a)
Teori
mengenai syarat-syarat penalaran yang sah
b)
Studi
tentang aturan-aturan mengenai penalaran yang tepat serta bentuk dari pola
pikiran yang masuk akal atau sah.[18]
Menurut Amsal Bakhtiar logika adalah saran untuk berpikir
sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis
adalah berpikir sesuai dengan aturan-aturan berpikir, seperti setengah tidak
boleh lebih besar daripada satu.[19]
Senada dengan pendapat di atas, A. Susanto menjelaskan bahwa logika
adalah cabang filsafat yang membahas tentang asas-asas, aturan-aturan, dan
prosedur dalam mencapai pengetahuan yang benar, yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.[20]
Pengertian logika berdasarkan beberapa pendapat di atas adalah
sarana atau alat yang mengatur kerja otak agar berpikir sistematis, valid,
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan terhindar dari kesalahan.
b.
Sejarah
perkembangan logika
1)
Masa
Yunani Kuno
Istilah logika pertam kali digunakan oleh Zeno dari Citium (±
340-265 SM) tokoh Stoa. Namun, sudah terdapat jauh sebelumnya kaum Sofis
seperti Gorgias (±438- 375 SM) dari Lionti (Sicilia) telah memperbincangkan
masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran.[21]
Sokrates (470-399 SM) dengan metode Sokrotesnya, yakni ironi dan
maieutika, de facto mengembangkan metode induktif. Dalam metode ini
dikumpulkan contoh atau peristiwa kongkret untuk kemudian dicari ciri umumnya.
Oleh Plato nama aslinya Aristokles (428-437 SM) metode Sokrotes tersebut
diumumkan (dibuat umum) sehingga menjadi teori idea, yakni teori Dinge an
sich versi Plato. Sedangkan oleh
Aristoteles dikembangkan menjadi teori tentang ilmu. Menurut Plato, ide adalah
bentuk mula atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut prototypa,
sedangkan benda individual duniawi hanya
merupakan bentuk tiruan yang tak sempurna, disebut ectype. Gagasan Plato
ini banyak memberikan dasar perkembangkan logika, lebih-lebih yang bertalian
dengan masalah ideogenesis, dan masalah penggunaan bahasa dalam pemikiran.
Namun demikian logike episteme (logika ilmiah) sesungguhnya baru dapat
dikatakan terwujud berkat karya Aristoleles (384-322).
2)
Di
Dunia Islam
Tidak banyak buku yang menjelaskan tentang logika di dunia Islam.
Seakan ada mata rantai yang terputus ketika para ahli sejarah menukilkan
perkembangan sejarah logika. Dari beberapa buku dijelaskan bahwa setelah zaman
klasik di Yunani, adab pertengahan (abad 9-15 M), abad modern (mulai abad 17
M). Ada rentang waktu yang panjang disebut dengan zaman kegelapan, yaitu
setelah Hellenisme Rumawi. Ketika filusuf Yunani telah keluar dari negerinya.
Minat terhadap ilmu pengetahuan mulai menurun. Di saat barat mengalami
kemunduran pada saat yang bersamaan Islam mengalami perkembangannya. Para
khalifah setelah Nabi besar Muhammad saw. Melakukan ekspansi wilayah Islam
semakin luas, mereka menaklukkan daerah lain Spanyol, para pendeta terpaksa
tunduk kepada khalifah.
Cara masuknya logika Aristoteles ke dunia Islam melalui dua jalan
yaitu diskusi dan penterjemahan. Pengenalan logika secara resmi yang
diprakarsai oleh pemerintah terjadi pada masa kekhalifahan bani Abbas ketika
kekuasaan dipegang oleh khalifah al-Manshur (136-158 H/ 753-774 M) dan
puncaknya pada masa al-Ma’mun (190-218 H/813-833M). Ada beberapa motif yang
mendorong khalifah al-Manshur melakukan penerjemahan ini. Pertama, semakin
banyak terjadi dialog dan diskusi antara orang-orang Islam dengan para
al-Kitab, Yahudi dan Kristen. Masing-masing mereka menggunakan logika
Aristoteles. Kedua, masuknya pemahaman dan ajaran aqidah agama Persia ke dalam
masyarakat Islam. Orang Persia sudah terbiasa mempergunakan logika sebagai seni
beragumentasi. Oleh karena itu, umat Islam merasa perlu mempelajari logika
Aristoteles untuk menentang orang-orang beragama Persia itu.[22]
3)
Abad
Pertengahan
Hingga tahun 1141 buku-buku yang digarap hanyalah De
Interpretatione dan Categories karya Aristoteles. Eisagoge
karya Porphyrius dan buku Traktat Boethius yang mencakup masalah pembagian,
masalah metode debat, silogisme kategoris dan hipotesis, biasa disebut logika
lama. Setelah 1141, keempat karya Aristoteles lainnya menjadi terkenal lebih
luas disebut sebagai logika baru. Logika
lama dan logika baru kemudian bersama disebut logika antik.
Pada abad XIII-XV berkembang logika modern dengan tokoh-tokoh yang
mnonjol pada saat itu adalah Petrus Hispanus (1210-1278). Roger Bacon
(1214-1292), Raymundus Lullus (1232-1315), Wilhelmus Ockham (1295-1349) dan
lain-lain. Raymundus Lullus menemukan logika baru yang disebut Asr Magma, yan
merupakan semacam aljabar pengertian, aljabar itu bermaksud membuktikan
kebenaran-kebenaran yang tertinggi. Catatan penting perkembangan pemikiran pada
abad pertengahan ini adalah karya Boethius yang orisinil di bidang soligesme
hipotesis dan munculnya logika hubungan, penyempurnaan teori silogisme.[23]
4)
Abad
Modern
Pada masa ini terdapat penemuan-penemuan baru dalam logika. Francis
Bacon (1561-1626) mengembangkan metode induktif dalam karya Novum Organum(
London, 1620), dan logika matematika dalam Discourse de la Methode
(1637) karya Rene Descartes. Thomas Hobbes (1588-1679), dan John Locke
(1632-1704) dalam karyanya yang bernama Essay Concerning Human Understanding
(1690), kedua tokoh ini memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan bahasa
di dalam pengalaman. Kemudian ajaran Aristoteles telah berwarna nominalis.
Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) menyusun logika aljabar. Leibniz
menciptakan simbolisme bagi konsep-konsep, ruang lingkup kelompok, ekuivalensi
kelompok dan ekuivalensi konseptual.[24]
c.
Pembagian
logika
Logika dapat disistematiskan menjadi beberapa golongan, tergantung
dari mana kita meninjaunya. Dilihat dari segi kualitasnya, logika dapat
dibedakan menjadi :
1)
Logika
Natural, yaitu kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia.
Akal manusia yang normal dapat bekerja secara spontan sesuai hukum-hukum logika
dasar. Bagaimanapun rendahnya inteligensi seseorang ia dapat membedakan bahwa
sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan
yang bertentangan tidaklah sama.
2)
Logika
Artifisiasi atau Logika Ilmiah yang bertugas membantu logika natural. Logika
ini memperhalus, mempertajam serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat
bekerja lebih teliti, efesien, mudah dan aman.
Dilihat dari segi obyeknya, dikenal sebagai Logika Formal dan
Logika Material. Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang
berbeda secara radikal yakni cara berpikir dari umum ke khusus dan cara
berpikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berpikir deduktif
dipergunakan dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian
(tidak adanya pertentangan) dalam pemikiran dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus,
patokan-patokan berpikir benar. Cara berpikir induktif dipergunakan dalam
logika material, yang mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dan
kenyataan. Ia menilai hasil kenyataan empiris. Cabang logika formal disebut
juga Logika Minor, Logika Material disebut Logika Mayor.[25]
Aceng Rachmat dkk menyebutkan bahwa berdasarkan arahnya, logika
dibedakan sebagai logika deduktif dan induktif. Logika deduktif khususnya
logika tradisional bermula dari zaman Yunani Kuno sekitar abad ketiga SM.
Logika ini memproses pikiran, baik secara langsung maupun tidak langsung
berdasarkan atas pernyataan umum yang sudah lebih dahulu diketahui. Pernyataan
yang berisi sesuatu yang sudah diketahui disebut anteseden (premis) yang
merupakan pernyataan dasar dan pernyataan yang berisi pengetahuan baru yang
ditarik dari pernyataan dasar itu disebut konsekuen (kesimpulan).[26]
Sedangkan logika induktif memproses pengetahuan berdasarkan
fakta-fakta khusus yang diperoleh dai pengetahuan indriawi/ melalui pengamatan.
Dari sejumlah fakta atau gejala khusus itu ditarik kesimpulan umum berupa
pengetahuan yang baru yang berlaku untuk sebagian atau keseluruhan gejala
tersebut. Jadi,arah pemikiran bergerak dari data yang bersifat khusus kepada
kesimpulan yang bersifat umum. Logika induktif seperti itu di antaranya
dilakukan dalam analisi statistik yang menggunakan data kuantitatif sebagai
dasar penarikan kesimpulan dan dalam analisi data kualitatif yang menggunakan
data yang mungkin bersifat verbal.[27]
d.
Manfaat
logika
Logika membantu manusia berpikir lurus, efesien tepat dan teratur
untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan. Dalam segala aktifitas
berpikir dan bertindak, manusia mendasarkan diri pada prinsip ini. Logika
menyampaikan kepada berpikir benar, lepas dari berbagai prasangka emosi dan
keyakinan seseorang ; karena ia mendidik manusia bersikap obyektif, tegas dam
berani, suatu sikap yang dibutuhkan dalam segala suasana dan tempat.[28]
Pada referensi lain ditemukan bahwa faedah mempelajari logika
adalah sebagai berikut :
1)
Logika
menyatakan, menjelaskan dan mempergunakan prinsip-prinsip abstrak yang dapat
dipakai dalam semua lapangan ilmu pengetahuan
2)
Pelajaran
logika menambah daya berpikir abstrak dan dengan demikian melatih dan
mengembangkan daya pemikiran dan menimbulkan disiplin intelektual
3)
Logika
menengah kita tersesat oleh segala sesuatu yang kita peroleh berdasarkan
autoritas
4)
Menempatkan
persoalan dan menunaikan tugas pada situasi dan kondisi yang tepat.[29]
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Berpikir adalah suatu bentuk
kegiatan akal manusia yang diarahkan oleh pengetahuan melalui panca indera,
diolah dan ditujukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.Guna mencapai
kesimpulan yang benar tentang suatu pengetahuan, akal mestilah menggunakan
penalaran yang benar dan logika yang tepat. Prinsip-prinsip penalaran ada empat
yakni : prinsip identitas, prinsip kontradiksi, prinsip eksklusi tertii, dan prinsip
cukup alasan.
Dan
logika adalah sarana atau alat yang mengatur kerja otak agar berpikir
sistematis, valid, dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan terhindar
dari kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Affan, Afraniati, Logika Dasar,
Padang : Hayfa Press, 2009
An-Nabhani,Taqiyuddin, Hakekat
Berpikir, Jakarta: Hizbut Tahrir, 2006
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Jakarta : Bumi Aksara, 2011
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2007
Bagus,Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta : Gramedia, 2002
Liang, The Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogakarta : Liberty
Yogyakarta, 1991
Mundiri, Logika, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002
S. Suriasumantri , Jujun, Ilmu Dalam Perspektif, Jakarta :
PT Gramedia, 1985
S. Suriasumantri, Jujun, Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer,
Jakarta: Cv. Muliasari, 2001
Salam, Burhanuddin, Logika Formal,
Jakarta : PT Bina Aksara, 1988
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta
: Bumi Aksara, 2010
Sing, Parpat Mehza dan Jazir Burhan,
Pengantar Logika Tradisional, Bandung : Bina Cipta, 1988
[1]
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta : PT Gramedia,
1985),h.52
[2]
Ibid
[3]
Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, (Jakarta: Hizbut Tahrir, 2006),
h. 5
[4]
Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, h. 25
[5]Mundiri,
Logika, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.8
[6]
Burhanuddin Salam, Logika Formal, ( Jakarta : PT Bina Aksara, 1988),h.1
[7]Taqiyuddin
an-Nabhani, Hakekat Berpikir, h. 28-29
[8]
Taqiyuddin an-Nabhani, Hakekat Berpikir, h. 52-53
[9]Mundiri,
Logika, h.10-11
[10]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta : Gramedia, 2002),h. 794
[11] A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta :
Bumi Aksara, 2011), h.148
[12]
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogakarta : Liberty Yogyakarta,
1991),h.21
[13]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebagai Pengantar Populer, (
Jakarta : Cv. Muliasari, 2001),h. 42
[14]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta :
Bumi Aksara, 2010),h. 111-112
[15]
Parpat Sing Mehza dan Jazir Burhan, Pengantar Logika Tradisional,
(Bandung : Bina Cipta, 1988), h.1
[16]
Mundiri, Logika,h.1
[17]
Afraniati Affan, Logika Dasar, (Padang : Hayfa Press, 2009), h. 1
[18]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 519-520
[19]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2007), h. 212
[20]
A. Susanto, Filsafat Ilmu, h.145
[21]Poespoprodjo,
Logika Scientika, h. 28-29
[22]
Afraniati Affan, Logika Dasar, h.12-15
[23]
Afraniati Affan, Logika Dasar, h.20-21
[24]
Afraniati Affan, Logika Dasar, h.21
[25]
Mundiri, Logika, h. 13-14
[26]
Aceng Rachmat dkk, Filsafat Ilmu Lanjutan, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2013),h. 230-231
[27]
Ibid
[28]
Mundiri, Logika, h. 15
[29]
Afraniati Affan, Logika Dasar, h. 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar