Rabu, 09 April 2014

Dinasti Fatimiyah (297-567 H/ 909-1171 M)




A.                PENDAHULUAN
Berbicara tentang dinasti, kerajaan, lembaga, tidak terlepas dari pembicaraan tentang kapan awal mula berdiri dinasti, kerajaan, lembaga tersebut ?, dan sudah pasti setiap dinasti, kerajaan, atau pun lembaga memiliki pimpinan. Karena mustahil ada dan bertahan suatu kumpulan masyarakat tanpa ada yang memimpin. Lalu, setiap pimpinan mempunyai rencana kerja dan cara kerja yang berbeda- beda dalam menggunakan jabatannya, meski tujuan mereka sama yakni untuk kemajuan kekuasaannya.
Dan berbicara tentang dinasti, kerajaan, maupun lembaga juga tidak terlepas dari pembicaraan tentang kapan berakhirnya hal tersebut, karena setiap ada awal tentu ada akhir, tak ada yang abadi di dunia ini. Namun tentunya ada faktor- faktor yang mempengaruhi suatu dinasti, kerajaan, maupun lembaga itu berakhir.
Dengan begitu, ketika dalam makalah ini kita membahas tentang Dinasti Fatimiyah, maka poin- poin yang akan dijelaskan tentu tidak terlepas dari pembahasan tentang latar belakang berdiri Dinasti Fatimiyah, siapa-siapa saja yang pernah memimpin dinasti ini, serta apa saja kemajuan-kemajuan yang dicapai dan hingga apa pula yang menyebabkan dinasti ini runtuh.

B.                 PEMBAHASAN
1.                  Latar Belakang Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah adalah Dinasti yang beraliran Syiah. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang berpusat di Bagdhad, yaitu Bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Sa’id ibn Husayn, kemudian keturunan pendiri kedua sekte ismailyah, seorang Persia yang bernama ‘Abdullah ibn Maymun. Kemunculan Sa’id penerus Ibn Maymun yang sangat mencengangkan ini  merupakan puncak dari propaganda sekte Ismailyah yang terampil dan terorganisir dengan baik. Ketika itu wilayah Afrika kecil - Tunisia dan Afrika Utara- berada di bawah kekuasaan Aglabiyah. Setelah Aglabiyah hancur, Sa’id kemudian memploglamirkan dirinya sebagai penguasa dengan julukan Imam Ubaydillah al-Mahdi dan mengklaim sebagai keturunan Fatimiyah melalui al-Husayn.[1]
Terkait dengan hal di atas tentang latar belakang penamaan Fatimiyah, dalam referesi lain dinyatakan bahwa sebelum berdirinya Dinasti Fatimiyah telah berdiri Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan Dinasti Umaiyah di Spanyol. Untuk menyaingi kedua dinasti yang bermazhab “Sunni” ini, maka Ubaydillah al-Mahdi mengambil nama Fatimah sebagai nama dinastinya, karena untuk khalifah adalah keturunan yang paling dekat dengan Rasulullah, maka Fatimah adalah anak Rasulullah, sedangkan Abbas dan Umaiyah adalah Paman Rasulullah.[2]
Ada juga yang beranggapan bahwa untuk menarik perhatian masyarakat Ubaydillah mengklaim dirinya keturunan Fatimah, karena anak Rasulullah tidak ada yang laki-laki. Jadi mereka mengambil jalur keturunan perempuan dari anak Rasulullah, walaupun pada anak Fatimah dipakai garis keturunan laki-laki.[3] Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abu Thalib dan Fatimah binti Rasulullah, karena menurut mereka Abdullah Al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu dari Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq. Sedang Is’mail merupakan imam Syi’ah yang ketujuh.[4] Tetapi lawan-lawan Sunni mereka biasanya menyebut dinasti ‘Ubaydiyyun, keturunan ‘Ubaydillah Al-Mahdi, hal ini jelas menolak adanya hubungan dengan Ali.[5]
                        Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa awal muncul nama Dinasti Fatimiyah adalah dari nama Fatimah binti Rasulullah karena pendiri dinasti ini yakni Ubaydillah mengeklaim dirinya keturunan Fatimah. Dan Dinasti ini didirikan pertama di Tunisia pada tahun 909 M setelah kehancuran Dinasti Aglabiyah.

2.                  Pemimpin Dinasti Fatimiyah
Seperti halnya Dinasti Abbasiyah, Dinasti Umaiyah dan Dinasti-dinasti lain yang ada, Dinasti Fatimiyah juga memiliki beberapa pemimpin yang memimpin secara bergantian. Adapun pemimpin Dinasti Fatimiyah adalah sebagai berikut :
-          ‘Ubaydillah Al-Mahdi               (909 -934 M)
-          Al-Qa’im                                    (934- 946 M)
-          Al-Manshur                                (946- 952 M)
-          Al-Mu’izz                                   (952- 975 M)
-          Al-Aziz                                      (975- 996 M)
-          Al-Hakim                                   (996- 1021 M)
-          Azh-Zhahir                                 (1021- 1035 M)
-          Al-Mustanshir                            (1035- 1094 M)
-          Al-Musta’li                                 (1094- 1101 M)
-          Al-Amir                                      (1101-1130   M )
-          Al-Hafiz                                     (1130- 1149 M)
-          Azh- Zhafir                                (1149- 1154 M)
-          Al-Faiz                                       (1154- 1160 M)
-          Al-Adhid                                   (1160-1171 M ).[6]
Berbeda dengan hal di atas, pada referensi lain ditemukan bahwa adanya dua fase yang berkuasa atas berdirinya Dinasti Fatimiyah ini. Yakni fase penguasa-penguasa Daulah Ubaydillah dan fase Dinasti Fatimiyah. Adapun yang berkuasa pada fase Daulah Ubaydillah di Afrika Utara adalah : Ubaydillah Al-Mahdi, Abul Qasim Muhammad, Ismail Al Manshur, Al Muiz Lidinillah.
Sedangkan penguasa-penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir ialah : Al-Muiz Lidinillah, Al-Aziz, Al-Hakim, Azh zhahir, Al-Muntanshir, Al Musta’li, Al- Amir, Al Hafizh, Az Zafir, Al Faiz, dan Abdullah bin Yusuf Al Adhid.[7]
Meskipun dua pendapat di atas berbeda persi, namun keduanya tidak ada yang menghilangkan salah satu nama dari pemimpin yang ada. Artinya kedua pendapat di atas sepakat bahwa pemimpin Dinasti Fatimiyah memiliki jumlah yang sama hanya saja yang satu menyebutkannya pada satu fase saja dan pendapat lain membagi kepemimpinan Dinasti ini pada dua fase, fase Ubaydillah di Afrika Utara dan fase Fatimiyah di Mesir.
3.                  Pertumbuhan dan Perkembangan  Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah di bawah pemerintahan Ubaydillah al-Mahdi dapat mengalahkan para penguasa di Afrika Utara, yakni Aglabiyah di Aljazair, Rustamiyah yang Khawarij di Tahart, dan Idrisiyah di Fez. Pusat pemerintahannya pertama adalah al-Mahdiyah, sekitar Qairawan.[8] Pada tahun 914 M Ia menduduki  Alexandria, kota-kota lainnya seperti Malta, Syiria, Sardinia, Corsica dan sejumlah kota lain jatuh ke dalam kekuasaannya. Pada tahun 920 M khalifah al-Mahdi mendirikan kota baru di pantai Tunisia dan menjadikannya sebagai ibukota Fathimiyah. Kota ini dinamakan kota Mahdiniyah.[9]
Pada 934 M Al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Al-Qosim dengan gelar Al-Qoim (934- 946 M). pada tahun 934 Al- Qoim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi tidak berhasil karena dijegal oleh Abu Yazid Makad seorang Khawarij dari Mesir. Al-Qoim meninggal dan kemudian digantikan oleh anaknya, Al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad. Al-Mansur kemudian digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad dengan gelar Al-Mu’iz.[10] 
Penobatan Mu’izz sebagai khalifah keempat menandai era baru dinasti Fathimiyah. Banyak keberhasilan yang dicapainya. Pertama Ia menetapkan untuk mengadakan peninjauan ke seluruh penjuru wilayah kekuasaannya untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. Selanjutnya Ia menetapkan langkah-langkah yang seharusnya ditempuh demi terciptanya keadilan dan kemakmuran. Ia menghadapi gerakan pemberontakan secara tuntas sehingga mereka bersedia tunduk ke dalam kekuasaan Mu’izz. Ia menempuh kebijakan damai terhadap para pemimpin dan gubernur dengan menjanjikan penghargaan kepada mereka yang menunjukkan loyalitas. Maka dalam tempo singkat, masyarakat seluruh negeri mengenyam kehidupan yang damai dan makmur. [11]
Setelah berhasil dalam kondisi program konsolidasi, Mu’izz mengerahkan perhatiannya pada program ekspansi kekuasaan. Pada awal pemerintahan Al- Muiz mampu menaklukkan Maroko, Sycilia, lalu Mesir.
Penaklukan Mesir merupakan cita-cita terbesar gerakan ekspansi Mu’izz. Karena Mesir merupakan daerah yang strategis sekali pada waktu itu dan Mesir merupakan daerah yang subur dan dekat ke Baghdad, sehingga dapat memantau keadaan Baghdad. Apabila Baghdad lemah, mereka akan menaklukannya. Dipimpin oleh panglima Jauhar al Siqili, penaklukan ini berhasil pada tahun 969 M, karena pada waktu itu Dinasti Ikhsidiyah sudah mulai lemah dibawah pimpinan seorang budak yang bergelar Al-Kafur. Jauhar berhasil menduduki Kairo lama (Fusthath) dan mengyingkirkan Dinasti Iksyidiyah. Setelah memerintah di Mesir, Fathimiyah membangun kota Kairo baru (Al-Qohiroh) dan terus memperluas kekuasaannya sampai ke Palestina, Suriah, dan mampu mengambil penjagaan atas tempat-tempat suci di Hejaz.[12]
Selanjutnya Mu’izz mendirikan Mesjid Al-Azhar. Mesjid ini oleh khalifah Al-Aziz dijadikan akademi Al-Azhar. Universitas Al-Azhar yang berkembang sekarang ini bermula dari akademi ini. Mu’izz yang selama ini tinggal di Afrika segera pindah ke Mesir pada tahun 973 M, dan kedatangannya disambut baik oleh seluruh rakyat Mesir. Bahkan masyarakat Siria dan Hijjaz juga mengakui pemerintahannya yang berpusat di Mesir. [13]
Sejalan dengan hal di atas, pada referensi lain dinyatakn bahwa kejayaan Dinasti Fatimiyah di Mesir dimulai pada masa pemerintahan Al-Mu’iz dan puncaknya terjadi pada masa pemerintahan anaknya, Al-Aziz. Al-Mu’iz Lidinillah dan Al-Aziz ( 975-996 M) di Mesir dapat disejajarkan dengan Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun di Baghdad. Selama pemerintahan Mu’iz dan tiga orang pengganti pertamanya, seni dan ilmu mengalami kemajuan besar.[14]
Al-Mu’iz melaksanakan tiga kebijakan besar, yakni pembaharuan dalam bidang administrasi, pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama ( juga aliran). Dalam bidang administrasi, Ia mengangkat seorang wazir ( menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, Ia member gaji khusus kepada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.[15] Dinasti Fatimiyah merupakan penghasil gandum dan kapas terbesar pada masa itu, karena Mesir daerah yang subur, sehingga Mesir dapat mengekspor gandum dan kapas serta kain pada waktu itu. dan memajukan aneka industri dan kerajinan rakyat, sepeti tenunan, ukiran dan sebagainya.[16]
Dalam bidang agama, di Mesir diadakan empat lembaga pendidikan, dua untuk mazhab Syi’ah dan dua untuk mazhab Sunni. Dalam bersaing dengan ‘Abbasiyyah, Fathimiyah menyatakan sebagai khalifah-khalifah sejati, namun mayoritas rakyat mereka tetap Sunni dan menikmati sebagian besar kebebasan keagamaan mereka. Banyak dari para da’i dididik di perguruan Al-Azhar yang baru didirikan di Kairo, dan bekerja di luar wilayah kekuasaan Fathimiyah. Kecuali pada masa pemerintahan khalifah Al-Hakim yang tidak stabil, secara komporatif kaum Kristen dan Yahudi diperlakukan dengan baik, dan bahkan sebagian besar diantara mereka menduduki jabatan- jabatan tinggi dalam Negara. [17]
Menurut Maidir Harun dan Firdaus, kemajuan dinasti Fathimiyah dalam bidang agama adalah adanya toletansi terhadap aliran-aliran agama yang ada, pada awal pemerintahannya, tetapi pada masa selanjutnya Dinasti Fatimiyah menjadikan Syi’ah sebagai mazhab resmi Negara dan bahkan akhirnya Syi’ah dipaksakan kepada rakyat, sehingga untuk pejabat-pejabat pemerintahan harus  dari kalangan Syi’ah. Kemajuan lainnya adalah perbaikan Mesjid Al-Aqsa dan mendirikan Mesjid Al-Azhar.[18]
Wilayah kekuasaan Al- Mu’iz Lidinillah meliputi Afrika Utara, Negeri Mesir, Syam, Kilidia wilayah tanah suci, Nubia, dan Sudan bagian selatan.[19]
Setelah pemerintahan Mu’iz berakhir pada tahun 975 M, kedudukan khalifah dinasti Fathimiyyah dipegang oleh Al-Aziz yang merupakan anak dari Mu’izz. Ia tercatat sebagai khalifah yang paling bijaksana dan pemurah. Kedamaian yang berlangsung pada masanya ini ditandai dengan kesejahteraan seluruh warga, baik muslim maupun non muslim. Seorang Syiria yang bernama Iftikin yang berusaha melawannya setelah berhasil dikalahkan, ia tidak hanya memberikan ma’af melainkan juga memberikan jabatan tinggi. Selain itu, umat Kristen mendapatkan perlakukan baik selama masa ini, bahkan Al-Aziz berkenan mengangkat seorang wazir Kristen bernama Isa ibn Nastur. Pendeta Ibrahim menerima penghormatan yang tinggi dikalangan istana, dan Sang pendeta diizinkan mendirikan gereja di luar kota Fusthat. Sikap Al-Aziz yang begitu baik terhadap non muslim mendapat perkawanan dari pihak muslim, namun Ia segera dapat mengamankannya. Pada masa ini, imperium Fatimiyyah mencapai puncaknya. Luas kekuasaan imperium membentang dari wilayah Euprat sampai dengan Atlantik.[20]
Menurut Ajid Thohir, Adapun kemajuan yang terlihat pada masa Dinasti Fatimiyah diantaranya sebagai berikut :[21]
a.       Bidang Pemerintahan
Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah.
Menteri-menteri ( wazir) kekhalifahan dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok militer dan sipil. Yang dibidangi oleh kelompok militer di antaranya : urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Sedangkan ynag termasuk kelompok sipil adalah :
1)      Qadi yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
2)      dakwah yang memimpin Darul Hikam ( bidang keilmuan)
3)      Inspektur pasar yang membidangi bazaar, jalan dan pengawasan timbangan dan ukuran
4)      Bendahara Negara yang membidangi baitul mal
5)      Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah
6)      Qori yang membacakan Al-Qur’an bagi khalifah kapan saja dibutuhkan.
Selain dari pejabat istana ini, ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh khalifah untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Syria, Asia kecil. Mesir dikelola oleh gubernur Mesir Utara, Syarqia, Gabiya dan Alexandria. Pengurusannya diserahkan pada pejabat setempat.
Ketentaraan dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, amir-amir yang terdiri dari pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para opsir jaga. Ketiga, berbagai resimen yang bertugas sebagai hafidzah, juyusyiyah dan sudaniyah.
b.      Filsafat
Dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti Fatimiyah banya menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[22]  Kelompok filasafat yang paling terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah adalah  Ikhwanu sofa. Dalam filsafatnya, kelompok ini lebih canderung membela kelompok syiah ismailiyah, dan kelompok inilah yang mampu menyempurnakan pemikiran- pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah terutama dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu, agama, penyembangan syari’ah, dan filsafat yunani. Beberapa filosof yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Abu Hatim Ar-Rozi. Ia adalah seorang da’I Ismailiyah yang pemikirannya lebih banyak daam masalah politik. Abu Hatim menulis beberapa buku diantaranya kitab Azzayinah.
2.      Abu Abdillah An-Nasafi. Ia menulis kitab Al-Maahul. Kitab ini banyak membahas masalah Al-usul Al-madzhab Al-Isamily. Selain itu ia juga menulis kitab tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan Al-kaunul Mujrof [23]
c.       Keilmuan dan Kesusastraan
Seorang ilmuan yang paling tekenal pada masa Dinasti Fatimiyah adalah Yakub Ibn Killis. Ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad Al-Tamimi. Di samping Al-tamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibn Yusuf Al-Kindi dan Ibn Salamah Al-Quda’i. seorang ahli sastra yang muncul pada masa ini adalah Al-Aziz yang berhasil membangun mesjid Al-Azhar.
Kemajuan yang paling fundamental pada masa Fatimiyah ini adalah keberhasilannya membangun sebuah lembanga keilmuan yang disebut daarul hikam atau daarul ilmi yang dibangun oleh Al-Halim pada tahun 1005 M. kurikulum yang dikembangkan pada masa ini lebih banyak ke masalah keislaman, astronomi dan kedokteran.
Keilmuan astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomi Ali Ibnu Yunus, kemudian Ali Al-Hasan dan Ibnu Haytam. Pada masa ini kurang lebih seratus karya tentang matematika, astronomi, filsafat, dan kedokteran telah dihasilkan.
    
d.      Ekonomi dan sosial
Di bawah Fatimiyah, mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas cultural yang mengunguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan Dunia non- Islam dibina dengan baik, termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang beragama Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan seni Islam yang terbaik.
Walaupun Dinasti Fatimiyah ini bersungguh-sungguh di dalam mensyiahkan orang Mesir, tetapi mereka tidak melakukan pemaksaan kepada orang Sunni untuk mengikuti aliran Syiahnya. Itulah salah satu bentuk kebijakan pemerintahan yang dilakukan Dinasti Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan sosial yang aman dan tentram.   

4.                  Kehancuran Dinasti Fatimiyah dan Faktornya
Al- Aziz meninggal pada tahun 996 M. Khalifah Fatimiyah dijabat oleh anaknya yang bernama Abu al-Manshur al-Hakim. Ketika naik jabatan Ia baru berusia sebelas tahun. Selama tahun-tahun pertama al-Hakim berada di bawah pengaruh seorang gubernurnya yang bernama Barjawan. Di kemudian hari al-Hakim mengambil tindakan menghukum bunuh Barjawan lantaran penyalahgunaan kekuasaan Negara.[24]
Pemerintahan al-Hakim ditandai dengan sejumlah kekejaman. Ia telah membunuh beberapa wazir, merusak beberapa gereja Kristen termasuk Gereja Holy Sepulche ( makam suci) di Palestina pada tahun 1009 M.[25] Dalam sepuluh tahun masa pemerintahannya, umat Yahudi dan Nasrani merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga Negara sehingga timbul perlawanan mereka. Al-Hakim segera mengeluarkan maklumat umum untuk menghancurkan seluruh Gereja Kristen di Mesir dan menyita tanah dan harta kekayaan mereka. Ibn Abdun, seorang menteri sekretaris Negara yang beragama Kristen, dipaksa menandatangani maklumat tersebut. Umat Kristen dipaksa memilih tiga alternatif : menjadi muslim, atau meninggalkan tanah air atau berkalung dengan salib raksasa sebagai symbol kehancuran mereka. [26]
Akibatnya, Khalifah al-Hakim ( 996-1021 M) sampai dijuluki sebagai khalifah gila, ditambah lagi karena Ia telah memploklamirkan dirinya sebagai Sang Nabi dan Tuhan.[27]
Meskipun demikian kejamnya al-Hakim, pada masa ini ( 996-1021 M) didirikan Bait al-Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh dinasti Al-Ma’mun di Baghdad. Di lembaga ini banyak sekali koleksi buku-buku. Lembaga ini juga merupakan pusat kajian astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran Islam terutama Syi’ah.[28]
Sepeninggalan al-Hakim, Dinasti Fatimiyah dipimpin oleh putranya yang bernama Abu Hasyim Ali dengan gelar Al-Zahir. Ia naik tahta pada usia enam belas tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Sitt al- Mulk. Sepeninggalan sang bibi, al-Zahir menjadi raja boneka ditangan menteri- menterinya. Pada masa pemerintahan ini rakyat menderita kekurangan bahan makanan dan harga barang yang tidak terjangkau. Kondisi ini disebabkan terjadinya musibah banjir terus menerus.
Kemudian al-Zahir meninggal pada tahun 1036 M, kekhalifahan digantikan oleh anaknya Abu Tamim Ma’ad yang bergelar al-Mustansir, pemerintahannya selama 61 tahun merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Islam. Masa awal pemerintatahannya berada sepenuhnya di tangan Ibunya, lantaran ketika dinobatkan sebagai khalifah Ia baru berusia tujuh tahun. Pada masa ini kekuasaan Fatimiyah mengalami kemunduran secara drastis, beberapa kali perebutan jabatan perdana menteri turut memperlemah ketahanan imperium, disamping terjadinya sejumlah pemberontakan dan peperangan selama pemerintahan ini. Selanjutnya, musibah paceklik berlangsung selama tujuh tahun sehingga menghabiskan cadangan perekonomian Negara. Demikian para musibah paceklik ini sehingga manusia saling memakan satu sama lainnya. Setelah paceklik berakhir, Mesir diserang wabah penyakit. Gadis- gadis kalangan atas dipaksa menjual perhiasan dan pakaian mereka untuk dibelikan makanan hingga mereka turun ke jalan tanpa perhiasan dan tanpa pakaian yang pantas. Untuk mengatasi musibah ini, khalifah al-Mustansir meminta bantuan gubernur Acre yang bernama Badr al- Jamali. Gubernur berkenan memberikan bantuan sehingga wabah ini dapat teratasi. [29]
Sepeninggalan al-Mustansir pada tahun 1059 M. imperium Fatimiyah dilanda konflik dan permusuhan. Tidak seorangpun khalifah sesudahnya mampu mengendalikan kemesorotan imperium ini.
Putra termuda al-Mustansir yang bergelar al- Musta’li menduduki tahta khalifah sepeninggalan Sang ayah. Nizar putra al- Mustansir yang tertua, menentang penobatan adiknya. Ia segera bangkit di Alexandria setelah memecat gubernur wilayah ini, namun satu tahun kemudian Ia dapat dipaksa menyerah. Kemudian al- Musta’li meninggal dan dinobatkanlah anaknya yang masih hijau bernama al- Amir Manshur dengan gelar al-Amir menjadi khalifah. Pada saat itu Amir baru berusia lima tahun.[30]
Setelah al- Amir menjadi korban pembunuhan politik, kemenakanya yang bernama al-Hafiz memploklamirkan diri sebagai khalifah. Pemerintahan al- Hafiz ini diwarnai dengan perpecahan antar unsur kemiliteran. Anaknya, Abul Manshur Ismail dengan gelar al- Zafir, menggantikan kedudukannya setelah kematian al- Hafiz. Ia adalah pemuda 17 tahun yang tampan dan sembrono yang lebih memikirkan urusan perempuan dan musik dari pada urusan politik dan pertahanan. Segala urusan Negara dijalankan oleh perdana menteri yang bernama Abul Hassan Ibn al-Salar, sehingga sang khalifah sekedar sebagai symbol belaka. Al-Zafir meninggal pada tahun 1154 M, terbunuh oleh Nasir Ibn Abbas.[31]
Anak al-zafir yang masih berusia empat tahun menggantikan kedudukan ayahnya dengan bergelar al-Faiz. Ia keburu meninggal dunia sebelum dewasa yakni pada usia sebelas tahun dan digantikan oleh kemenakannya al-Adhid.[32] Sewaktu naik tahta al-Adhid berusia sembilan tahun, Ia merupakan khalifah keempat belas dan mengakhiri masa pemerintahan Fatimiyyah selama lebih kurang dua setengan abad. Al- Adhid berusaha keras untuk menegakkan kedudukannya dari serangan raja Yerussalem yang pada saat itu telah berada di gerbang kota Kairo. Hingga Akhirnya pada masa pemerintahan Al-Adhid, seorang perintis berdirinya Dinasti Ayyubiyah yakni Salahuddin Al-Ayyubi menjabat sebagai perdana mentri pada Dinasti Fatimiyah. Setelah Salahuddin menjadi perdana menteri , Ia mulai merencanakan untuk mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah. Pada mulanya, Ia membagi-bagikan wilayah kepada saudara-saudaranya. Akan tetapi sikap ini diketahui oleh keluarga istana. Di bawah pimpinan Muktamun dan kawan-kawannya merencanakan untuk membunuh Salahuddin, namun rencana ini cepat diketahui oleh Salahuddin sehingga Muktaman terbunuh oleh orang-orang Salahuddin.[33] 
Kemudian setelah yakin bahwa kekuasaannya sudah kuat, Salahuddin mengerahkan perhatiannya untuk melenyapkan ajaran Syi’ah di Mesir. Untuk itu, Ia mendirikan dua buah madrasah. Satu madrasah disediakan untuk mengajarkan dan menyebarluaskan mazhab Syafi’I dan yang lain untuk mazhab Maliki. Dengan demikian mazhab Sunni menjadi lebih kuat kembali, sementara Syi’ah Ismailiyah beransur-ansur hilang dan pendukungnya menjadi kurang. Penyebutan nama khalifah Al- Adhid   sudah mulai ditinggalkan.
Al- Adhid mulai sakit-sakitan dan mengirimnya pada pintu kematian pada tahun 567 H/ 1171 M. Dengan demikian, Salahuddin dapat menguasai istana dengan segala hartanya yang melimpah. Dinasti Fatimiyah diganti menjadi Dinasti Ayyubiyah, sejak itu ajaran Sunni kembali hidup menggantikan ajaran Syi’ah.[34]  
Menurut Maidir Harun dan Firdaus, dihancurkan Dinasti Fathimiyyah oleh Dinasti Ayyubiyah pada tahun 1171 M  disebabkan oleh beberapa faktor.[35]
a.       Faktor internal
1)      Heterogennya agama sehingga sering terjadi konflik antar agama
2)      Meliter yang terjadi dari beberapa suku yang menyebabkan terjadinya persaingan, yakni antara suku Maghribi, Sudan dan Turki.
3)      Khalifah sudah tidak mampu lagi menguasai militer dan wazir, karena khalifahnya sudah lemah
4)      Terjandinya perebutan kekuasaan antara khalifah dengan wazir, dan antara wazir-wazir, sehingga wazir dapat menguasai khalifah
5)      Terjadinya kemarau yang panjang pada masa Al-Mustansir (1036-1094 M), seta berjangkitan penyakit menular
6)      Kehidupan di instana yang bermewah-mewah sementara  rakyat menderita karena kelaparan
7)      Tidak adanya kaderisasi

b.      Faktor eksternal
1)      Masuknya pasukan Salib ke Suriah dan Mesir
2)      Munculnya Dinasti Ayyubiyah yang bermazhab Sunni, dipimpin oleh Salahuddin Al-Ayubi.

C.                PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dinasti yang muncul pada tahun 909 M bernama Dinasti Fatimiyah. Awal muncul nama Dinasti Fatimiyah karena Ubaydillah sebagai pendiri dinasti ini mengeklaim dirinya keturunan Fatimah binti Rasulullah. Hal ini dilakukan karena khalifah adalah keturunan yang paling dekat dengan Rasulullah, maka Ia mengkaim dirinya keturunan Fatimah karena Fatimah adalah anak Rasulullah. Dinasti ini didirikan di Tunisia setelah Dinasti Aglabiyah tiada.
Lalu Dinasti Fatimiyah mengalami kemajuan pada masa Khalifah Mu’izz Lidinillah dan puncak kejayaannya pada masa Khalifah Al-Aziz. Hal ini tampak pada kemajuan dari berbagai bidang, seperti bidang pemerintahan, keilmuan dan kesusastraan, ekonomi, sosial dan filasafat.
Sedangkan keruntuhan dinasti ini terjadi sejak kekhalifahan dijabat oleh Al-Hakim dan berakhir pada kekhalifahan Al-Adhid sebagai khalifah yang keempat belas tepatnya pada tahun 1171 M.

2.      Kririk dan Saran
Demikianlah pembahasan tentang Perkembangan Peradaban pada Masa Dinasti Fatimiyah ( 909- 1172 M) dalam makalah ini, penulis berharap adanya kritikan dan saran yang bersifat konstruktif dari para pembaca untuk tercapainya kesempurnaan dalam penulisan dan pembahasan makalah ini.







Daftar Pustaka
Amin, Ahmad, t.t, Dhuhal al-Islam, Jilid I,  Kairo : Lajnah Ta’lif wa al-Sayr

Ali, K. 2003, Sejarah Islam ( Tarikh Pramodern), Jakarta : PT Grafindo Persada

Harun, Maidir, Firdaus, 2002, Sejarah Peradaban Islam, Jilid II,  Padang : IAIN-IB Press

Hasan, Ilyas, 1993, Dinasti- Dinasti Islam, Bandung : Mizan

K. Philip, Hitti, 2005, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Riyadi, Jakarta : PT. Serambi Ilmu semesta 

Mufrodi,Ali, 1997,  Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab,  Ciputat : Logos Wacana Ilmu

Mansyur , M. Amin, 2004, Sejarah Peradaban Islam,  Bandung : Indonesia Spirit Poundation

Ibrahim , Hasan Hasan, 1993, Tarikh al-Daulah al- Fathimiyah,  Mesir : Maktabah Nahdobah

Sa’ad, Abu, 2003, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya Dala Peradaban Umat Manusia,  Jakarta : PT Rineka Cipta

Thohir, Ajid, 2004, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam,  Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada

Yatim,Badri, 2006, Sejarah Peradaban Islam,  Jakarta : PT Raja Grafindo Persada



[1] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu semesta, 2005), hlm. 787-788 
[2] Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Jilid II ( Padang : IAIN-IB Press, 2002), hlm. 79-80 
[3]  Ibid
[4] K. Ali, Sejarah Islam ( Tarikh Pramodern), ( Jakarta : PT Grafindo Persada, 2003), cet-4, hlm. 489
[5] Ilyas Hasan, Dinasti- Dinasti Islam, (Bandung : Mizan, 1993), hlm. 70-71  
[6] Philip K. Hitti, Op.Cit. 795 
[7] M. Mansyur Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung : Indonesia Spirit Poundation, 2004), hlm. 128
[8] Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, ( Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 116-117
[9]  K. Ali, Op.Cit. 491-492
[10] Ilyas Hasan, Op. Cit. 70-71
[11] K. Ali, Op.Cit. 494-495
[12] Maidir harun. 81-81
[13]  K. Ali, Op.Cit. 496-497
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 282
[15] Philip K. Hitti,Op. Cit.114
[16] Maidir Harun, Firdaus. Op Cit. 84
[17] Ilyas Hasan, Op.Cit. 72
[18] Maidir Harun, Firdaus. Op Cit. 83
[19] M. Mansyur Amin, Op. Cit. 127
[20] K. Ali. Lot. Cit. 499-501
[21] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 115-119
[22] Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, Jilid I, ( Kairo : Lajnah Ta’lif wa al-Sayr, t.t), hlm. 188
[23] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al- Fathimiyah, ( Mesir : Maktabah Nahdobah, 1993), hlm. 465-501
[24] K. Ali. Lot. Cit. 501
[25] Ajid Tohir, Op. Cit. 119 
[26] K. Ali. Op. Cit. 501
[27] Abu Sa’ad, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya Dala Peradaban Umat Manusia, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 92
[28]  Badri Yatim, Op. Cit 283
[29] K. Ali. Lot. Cit. 504- 506
[30] Philip K. Hitti, Op.Cit.  795 
[31] Ibid 
[32] Philip K. Hitti, Op. Cit, 796
[33] Maidir Harun, 88-89
[34] Ibid
[35] Maidir Harun, 85-86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar