A.
PENDAHULUAN
Berbicara
tentang dinasti, kerajaan, lembaga, tidak terlepas dari pembicaraan tentang
kapan awal mula berdiri dinasti, kerajaan, lembaga tersebut ?, dan sudah pasti
setiap dinasti, kerajaan, atau pun lembaga memiliki pimpinan. Karena mustahil
ada dan bertahan suatu kumpulan masyarakat tanpa ada yang memimpin. Lalu,
setiap pimpinan mempunyai rencana kerja dan cara kerja yang berbeda- beda dalam
menggunakan jabatannya, meski tujuan mereka sama yakni untuk kemajuan
kekuasaannya.
Dan berbicara
tentang dinasti, kerajaan, maupun lembaga juga tidak terlepas dari pembicaraan
tentang kapan berakhirnya hal tersebut, karena setiap ada awal tentu ada akhir,
tak ada yang abadi di dunia ini. Namun tentunya ada faktor- faktor yang
mempengaruhi suatu dinasti, kerajaan, maupun lembaga itu berakhir.
Dengan begitu,
ketika dalam makalah ini kita membahas tentang Dinasti Fatimiyah, maka poin-
poin yang akan dijelaskan tentu tidak terlepas dari pembahasan tentang latar
belakang berdiri Dinasti Fatimiyah, siapa-siapa saja yang pernah memimpin
dinasti ini, serta apa saja kemajuan-kemajuan yang dicapai dan hingga apa pula
yang menyebabkan dinasti ini runtuh.
B.
PEMBAHASAN
1.
Latar Belakang Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Dinasti
Fatimiyah adalah Dinasti yang beraliran Syiah. Dinasti ini didirikan di Tunisia
pada tahun 909 M, sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yang
berpusat di Bagdhad, yaitu Bani Abbasiyah. Dinasti Fatimiyah didirikan oleh
Sa’id ibn Husayn, kemudian keturunan pendiri kedua sekte ismailyah, seorang
Persia yang bernama ‘Abdullah ibn Maymun. Kemunculan Sa’id penerus Ibn Maymun
yang sangat mencengangkan ini merupakan
puncak dari propaganda sekte Ismailyah yang terampil dan terorganisir dengan
baik. Ketika itu wilayah Afrika kecil - Tunisia dan Afrika Utara- berada di
bawah kekuasaan Aglabiyah. Setelah Aglabiyah hancur, Sa’id kemudian
memploglamirkan dirinya sebagai penguasa dengan julukan Imam Ubaydillah
al-Mahdi dan mengklaim sebagai keturunan Fatimiyah melalui al-Husayn.[1]
Terkait dengan
hal di atas tentang latar belakang penamaan Fatimiyah, dalam referesi lain
dinyatakan bahwa sebelum berdirinya Dinasti Fatimiyah telah berdiri Dinasti
Abbasiyah di Baghdad dan Dinasti Umaiyah di Spanyol. Untuk menyaingi kedua
dinasti yang bermazhab “Sunni” ini, maka Ubaydillah al-Mahdi mengambil nama
Fatimah sebagai nama dinastinya, karena untuk khalifah adalah keturunan yang
paling dekat dengan Rasulullah, maka Fatimah adalah anak Rasulullah, sedangkan
Abbas dan Umaiyah adalah Paman Rasulullah.[2]
Ada juga yang
beranggapan bahwa untuk menarik perhatian masyarakat Ubaydillah mengklaim
dirinya keturunan Fatimah, karena anak Rasulullah tidak ada yang laki-laki.
Jadi mereka mengambil jalur keturunan perempuan dari anak Rasulullah, walaupun
pada anak Fatimah dipakai garis keturunan laki-laki.[3] Dinasti
ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali bin Abu Thalib
dan Fatimah binti Rasulullah, karena menurut mereka Abdullah Al-Mahdi sebagai
pendiri dinasti ini merupakan cucu dari Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq. Sedang
Is’mail merupakan imam Syi’ah yang ketujuh.[4]
Tetapi lawan-lawan Sunni mereka biasanya menyebut dinasti ‘Ubaydiyyun,
keturunan ‘Ubaydillah Al-Mahdi, hal ini jelas menolak adanya hubungan dengan
Ali.[5]
Dari penjelasan di atas dapat
kita simpulkan bahwa awal muncul nama Dinasti Fatimiyah adalah dari nama
Fatimah binti Rasulullah karena pendiri dinasti ini yakni Ubaydillah mengeklaim
dirinya keturunan Fatimah. Dan Dinasti ini didirikan pertama di Tunisia pada
tahun 909 M setelah kehancuran Dinasti Aglabiyah.
2.
Pemimpin Dinasti Fatimiyah
Seperti halnya
Dinasti Abbasiyah, Dinasti Umaiyah dan Dinasti-dinasti lain yang ada, Dinasti Fatimiyah
juga memiliki beberapa pemimpin yang memimpin secara bergantian. Adapun
pemimpin Dinasti Fatimiyah adalah sebagai berikut :
-
‘Ubaydillah Al-Mahdi (909
-934 M)
-
Al-Qa’im (934-
946 M)
-
Al-Manshur (946-
952 M)
-
Al-Mu’izz (952-
975 M)
-
Al-Aziz (975- 996 M)
-
Al-Hakim (996-
1021 M)
-
Azh-Zhahir (1021-
1035 M)
-
Al-Mustanshir (1035-
1094 M)
-
Al-Musta’li (1094-
1101 M)
-
Al-Amir (1101-1130 M )
-
Al-Hafiz (1130- 1149 M)
-
Azh- Zhafir (1149-
1154 M)
-
Al-Faiz (1154- 1160 M)
-
Al-Adhid (1160-1171
M ).[6]
Berbeda dengan
hal di atas, pada referensi lain ditemukan bahwa adanya dua fase yang berkuasa
atas berdirinya Dinasti Fatimiyah ini. Yakni fase penguasa-penguasa Daulah Ubaydillah
dan fase Dinasti Fatimiyah. Adapun yang berkuasa pada fase Daulah Ubaydillah di
Afrika Utara adalah : Ubaydillah Al-Mahdi, Abul Qasim Muhammad, Ismail Al Manshur,
Al Muiz Lidinillah.
Sedangkan
penguasa-penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir ialah : Al-Muiz Lidinillah,
Al-Aziz, Al-Hakim, Azh zhahir, Al-Muntanshir, Al Musta’li, Al- Amir, Al Hafizh,
Az Zafir, Al Faiz, dan Abdullah bin Yusuf Al Adhid.[7]
Meskipun dua pendapat
di atas berbeda persi, namun keduanya tidak ada yang menghilangkan salah satu
nama dari pemimpin yang ada. Artinya kedua pendapat di atas sepakat bahwa
pemimpin Dinasti Fatimiyah memiliki jumlah yang sama hanya saja yang satu
menyebutkannya pada satu fase saja dan pendapat lain membagi kepemimpinan
Dinasti ini pada dua fase, fase Ubaydillah di Afrika Utara dan fase Fatimiyah
di Mesir.
3.
Pertumbuhan dan Perkembangan
Dinasti Fatimiyah
Dinasti
Fatimiyah di bawah pemerintahan Ubaydillah al-Mahdi dapat mengalahkan para
penguasa di Afrika Utara, yakni Aglabiyah di Aljazair, Rustamiyah yang Khawarij
di Tahart, dan Idrisiyah di Fez. Pusat pemerintahannya pertama adalah
al-Mahdiyah, sekitar Qairawan.[8]
Pada tahun 914 M Ia menduduki
Alexandria, kota-kota lainnya seperti Malta, Syiria, Sardinia, Corsica
dan sejumlah kota lain jatuh ke dalam kekuasaannya. Pada tahun 920 M khalifah
al-Mahdi mendirikan kota baru di pantai Tunisia dan menjadikannya sebagai
ibukota Fathimiyah. Kota ini dinamakan kota Mahdiniyah.[9]
Pada 934 M
Al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Abu Al-Qosim dengan
gelar Al-Qoim (934- 946 M). pada tahun 934 Al- Qoim mampu menaklukkan Genoa dan
wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang sama ia mengirim pasukan ke Mesir
tetapi tidak berhasil karena dijegal oleh Abu Yazid Makad seorang Khawarij dari
Mesir. Al-Qoim meninggal dan kemudian digantikan oleh anaknya, Al-Mansur yang
berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad. Al-Mansur kemudian digantikan
oleh Abu Tamim Ma’ad dengan gelar Al-Mu’iz.[10]
Penobatan
Mu’izz sebagai khalifah keempat menandai era baru dinasti Fathimiyah. Banyak
keberhasilan yang dicapainya. Pertama Ia menetapkan untuk mengadakan peninjauan
ke seluruh penjuru wilayah kekuasaannya untuk mengetahui kondisi yang
sebenarnya. Selanjutnya Ia menetapkan langkah-langkah yang seharusnya ditempuh
demi terciptanya keadilan dan kemakmuran. Ia menghadapi gerakan pemberontakan
secara tuntas sehingga mereka bersedia tunduk ke dalam kekuasaan Mu’izz. Ia
menempuh kebijakan damai terhadap para pemimpin dan gubernur dengan menjanjikan
penghargaan kepada mereka yang menunjukkan loyalitas. Maka dalam tempo singkat,
masyarakat seluruh negeri mengenyam kehidupan yang damai dan makmur. [11]
Setelah
berhasil dalam kondisi program konsolidasi, Mu’izz mengerahkan perhatiannya
pada program ekspansi kekuasaan. Pada awal pemerintahan Al- Muiz mampu
menaklukkan Maroko, Sycilia, lalu Mesir.
Penaklukan
Mesir merupakan cita-cita terbesar gerakan ekspansi Mu’izz. Karena Mesir
merupakan daerah yang strategis sekali pada waktu itu dan Mesir merupakan
daerah yang subur dan dekat ke Baghdad, sehingga dapat memantau keadaan
Baghdad. Apabila Baghdad lemah, mereka akan menaklukannya. Dipimpin oleh
panglima Jauhar al Siqili, penaklukan ini berhasil pada tahun 969 M, karena
pada waktu itu Dinasti Ikhsidiyah sudah mulai lemah dibawah pimpinan seorang
budak yang bergelar Al-Kafur. Jauhar berhasil menduduki Kairo lama (Fusthath)
dan mengyingkirkan Dinasti Iksyidiyah. Setelah memerintah di Mesir, Fathimiyah
membangun kota Kairo baru (Al-Qohiroh) dan terus memperluas kekuasaannya sampai
ke Palestina, Suriah, dan mampu mengambil penjagaan atas tempat-tempat suci di
Hejaz.[12]
Selanjutnya
Mu’izz mendirikan Mesjid Al-Azhar. Mesjid ini oleh khalifah Al-Aziz dijadikan
akademi Al-Azhar. Universitas Al-Azhar yang berkembang sekarang ini bermula
dari akademi ini. Mu’izz yang selama ini tinggal di Afrika segera pindah ke
Mesir pada tahun 973 M, dan kedatangannya disambut baik oleh seluruh rakyat
Mesir. Bahkan masyarakat Siria dan Hijjaz juga mengakui pemerintahannya yang
berpusat di Mesir. [13]
Sejalan dengan
hal di atas, pada referensi lain dinyatakn bahwa kejayaan Dinasti Fatimiyah di
Mesir dimulai pada masa pemerintahan Al-Mu’iz dan puncaknya terjadi pada masa
pemerintahan anaknya, Al-Aziz. Al-Mu’iz Lidinillah dan Al-Aziz ( 975-996 M) di
Mesir dapat disejajarkan dengan Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mun di Baghdad.
Selama pemerintahan Mu’iz dan tiga orang pengganti pertamanya, seni dan ilmu
mengalami kemajuan besar.[14]
Al-Mu’iz
melaksanakan tiga kebijakan besar, yakni pembaharuan dalam bidang administrasi,
pembangunan ekonomi, dan toleransi beragama ( juga aliran). Dalam bidang
administrasi, Ia mengangkat seorang wazir ( menteri) untuk melaksanakan
tugas-tugas kenegaraan. Dalam bidang ekonomi, Ia member gaji khusus kepada
tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.[15] Dinasti
Fatimiyah merupakan penghasil gandum dan kapas terbesar pada masa itu, karena
Mesir daerah yang subur, sehingga Mesir dapat mengekspor gandum dan kapas serta
kain pada waktu itu. dan memajukan aneka industri dan kerajinan rakyat, sepeti
tenunan, ukiran dan sebagainya.[16]
Dalam bidang
agama, di Mesir diadakan empat lembaga pendidikan, dua untuk mazhab Syi’ah dan
dua untuk mazhab Sunni. Dalam bersaing dengan ‘Abbasiyyah, Fathimiyah
menyatakan sebagai khalifah-khalifah sejati, namun mayoritas rakyat mereka
tetap Sunni dan menikmati sebagian besar kebebasan keagamaan mereka. Banyak
dari para da’i dididik di perguruan Al-Azhar yang baru didirikan di
Kairo, dan bekerja di luar wilayah kekuasaan Fathimiyah. Kecuali pada masa
pemerintahan khalifah Al-Hakim yang tidak stabil, secara komporatif kaum
Kristen dan Yahudi diperlakukan dengan baik, dan bahkan sebagian besar diantara
mereka menduduki jabatan- jabatan tinggi dalam Negara. [17]
Menurut Maidir
Harun dan Firdaus, kemajuan dinasti Fathimiyah dalam bidang agama adalah adanya
toletansi terhadap aliran-aliran agama yang ada, pada awal pemerintahannya,
tetapi pada masa selanjutnya Dinasti Fatimiyah menjadikan Syi’ah sebagai mazhab
resmi Negara dan bahkan akhirnya Syi’ah dipaksakan kepada rakyat, sehingga
untuk pejabat-pejabat pemerintahan harus
dari kalangan Syi’ah. Kemajuan lainnya adalah perbaikan Mesjid Al-Aqsa
dan mendirikan Mesjid Al-Azhar.[18]
Wilayah
kekuasaan Al- Mu’iz Lidinillah meliputi Afrika Utara, Negeri Mesir, Syam,
Kilidia wilayah tanah suci, Nubia, dan Sudan bagian selatan.[19]
Setelah
pemerintahan Mu’iz berakhir pada tahun 975 M, kedudukan khalifah dinasti
Fathimiyyah dipegang oleh Al-Aziz yang merupakan anak dari Mu’izz. Ia tercatat
sebagai khalifah yang paling bijaksana dan pemurah. Kedamaian yang berlangsung
pada masanya ini ditandai dengan kesejahteraan seluruh warga, baik muslim
maupun non muslim. Seorang Syiria yang bernama Iftikin yang berusaha melawannya
setelah berhasil dikalahkan, ia tidak hanya memberikan ma’af melainkan juga
memberikan jabatan tinggi. Selain itu, umat Kristen mendapatkan perlakukan baik
selama masa ini, bahkan Al-Aziz berkenan mengangkat seorang wazir Kristen
bernama Isa ibn Nastur. Pendeta Ibrahim menerima penghormatan yang tinggi
dikalangan istana, dan Sang pendeta diizinkan mendirikan gereja di luar kota
Fusthat. Sikap Al-Aziz yang begitu baik terhadap non muslim mendapat perkawanan
dari pihak muslim, namun Ia segera dapat mengamankannya. Pada masa ini, imperium
Fatimiyyah mencapai puncaknya. Luas kekuasaan imperium membentang dari wilayah
Euprat sampai dengan Atlantik.[20]
Menurut Ajid Thohir, Adapun kemajuan
yang terlihat pada masa Dinasti Fatimiyah diantaranya sebagai berikut :[21]
a.
Bidang Pemerintahan
Bentuk
pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang
dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya khalifah
adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan
pejabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah.
Menteri-menteri
( wazir) kekhalifahan dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok militer dan
sipil. Yang dibidangi oleh kelompok militer di antaranya : urusan tentara,
perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut
keamanan. Sedangkan ynag termasuk kelompok sipil adalah :
1)
Qadi yang berfungsi sebagai hakim dan direktur percetakan uang
2)
dakwah yang memimpin Darul Hikam ( bidang keilmuan)
3)
Inspektur pasar yang membidangi bazaar, jalan dan pengawasan
timbangan dan ukuran
4)
Bendahara Negara yang membidangi baitul mal
5)
Wakil kepala urusan rumah tangga khalifah
6)
Qori yang membacakan Al-Qur’an bagi khalifah kapan saja dibutuhkan.
Selain dari
pejabat istana ini, ada beberapa pejabat lokal yang diangkat oleh khalifah
untuk mengelola bagian wilayah Mesir, Syria, Asia kecil. Mesir dikelola oleh
gubernur Mesir Utara, Syarqia, Gabiya dan Alexandria. Pengurusannya diserahkan
pada pejabat setempat.
Ketentaraan
dibagi ke dalam tiga kelompok. Pertama, amir-amir yang terdiri dari
pejabat-pejabat tinggi dan pengawal khalifah. Kedua, para opsir jaga. Ketiga,
berbagai resimen yang bertugas sebagai hafidzah, juyusyiyah dan sudaniyah.
b.
Filsafat
Dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti Fatimiyah banya
menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat
Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya.[22] Kelompok filasafat yang paling terkenal pada
masa Dinasti Fatimiyah adalah Ikhwanu
sofa. Dalam filsafatnya, kelompok ini lebih canderung membela kelompok
syiah ismailiyah, dan kelompok inilah yang mampu menyempurnakan pemikiran-
pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah terutama dalam
masalah-masalah yang berhubungan dengan ilmu, agama, penyembangan syari’ah, dan
filsafat yunani. Beberapa filosof yang muncul pada masa Dinasti Fatimiyah
diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Abu Hatim Ar-Rozi. Ia adalah seorang da’I Ismailiyah yang
pemikirannya lebih banyak daam masalah politik. Abu Hatim menulis beberapa buku
diantaranya kitab Azzayinah.
2.
Abu Abdillah An-Nasafi. Ia menulis kitab Al-Maahul. Kitab
ini banyak membahas masalah Al-usul Al-madzhab Al-Isamily. Selain itu ia
juga menulis kitab tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam
dan Al-kaunul Mujrof [23]
c.
Keilmuan dan Kesusastraan
Seorang ilmuan yang paling tekenal pada masa Dinasti Fatimiyah
adalah Yakub Ibn Killis. Ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang
bernama Muhammad Al-Tamimi. Di samping Al-tamimi ada juga seorang ahli sejarah
yang bernama Muhammad Ibn Yusuf Al-Kindi dan Ibn Salamah Al-Quda’i. seorang
ahli sastra yang muncul pada masa ini adalah Al-Aziz yang berhasil membangun
mesjid Al-Azhar.
Kemajuan yang paling fundamental pada masa Fatimiyah ini adalah
keberhasilannya membangun sebuah lembanga keilmuan yang disebut daarul hikam
atau daarul ilmi yang dibangun oleh Al-Halim pada tahun 1005 M.
kurikulum yang dikembangkan pada masa ini lebih banyak ke masalah keislaman,
astronomi dan kedokteran.
Keilmuan astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomi Ali
Ibnu Yunus, kemudian Ali Al-Hasan dan Ibnu Haytam. Pada masa ini kurang lebih
seratus karya tentang matematika, astronomi, filsafat, dan kedokteran telah
dihasilkan.
d.
Ekonomi dan sosial
Di bawah
Fatimiyah, mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas cultural yang
mengunguli Irak dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan Dunia non- Islam
dibina dengan baik, termasuk dengan India dan negeri-negeri mediterania yang
beragama Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan
seni Islam yang terbaik.
Walaupun Dinasti
Fatimiyah ini bersungguh-sungguh di dalam mensyiahkan orang Mesir, tetapi
mereka tidak melakukan pemaksaan kepada orang Sunni untuk mengikuti aliran
Syiahnya. Itulah salah satu bentuk kebijakan pemerintahan yang dilakukan
Dinasti Fatimiyah yang imbasnya sangat besar terhadap kemakmuran dan kehidupan
sosial yang aman dan tentram.
4.
Kehancuran Dinasti Fatimiyah dan Faktornya
Al- Aziz
meninggal pada tahun 996 M. Khalifah Fatimiyah dijabat oleh anaknya yang
bernama Abu al-Manshur al-Hakim. Ketika naik jabatan Ia baru berusia sebelas
tahun. Selama tahun-tahun pertama al-Hakim berada di bawah pengaruh seorang
gubernurnya yang bernama Barjawan. Di kemudian hari al-Hakim mengambil tindakan
menghukum bunuh Barjawan lantaran penyalahgunaan kekuasaan Negara.[24]
Pemerintahan
al-Hakim ditandai dengan sejumlah kekejaman. Ia telah membunuh beberapa wazir,
merusak beberapa gereja Kristen termasuk Gereja Holy Sepulche ( makam suci) di
Palestina pada tahun 1009 M.[25]
Dalam sepuluh tahun masa pemerintahannya, umat Yahudi dan Nasrani merasa
kehilangan hak-haknya sebagai warga Negara sehingga timbul perlawanan mereka.
Al-Hakim segera mengeluarkan maklumat umum untuk menghancurkan seluruh Gereja
Kristen di Mesir dan menyita tanah dan harta kekayaan mereka. Ibn Abdun,
seorang menteri sekretaris Negara yang beragama Kristen, dipaksa menandatangani
maklumat tersebut. Umat Kristen dipaksa memilih tiga alternatif : menjadi
muslim, atau meninggalkan tanah air atau berkalung dengan salib raksasa sebagai
symbol kehancuran mereka. [26]
Akibatnya, Khalifah
al-Hakim ( 996-1021 M) sampai dijuluki sebagai khalifah gila, ditambah lagi
karena Ia telah memploklamirkan dirinya sebagai Sang Nabi dan Tuhan.[27]
Meskipun
demikian kejamnya al-Hakim, pada masa ini ( 996-1021 M) didirikan Bait
al-Hikmah, terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh dinasti
Al-Ma’mun di Baghdad. Di lembaga ini banyak sekali koleksi buku-buku. Lembaga
ini juga merupakan pusat kajian astronomi, kedokteran, dan ajaran-ajaran Islam
terutama Syi’ah.[28]
Sepeninggalan
al-Hakim, Dinasti Fatimiyah dipimpin oleh putranya yang bernama Abu Hasyim Ali
dengan gelar Al-Zahir. Ia naik tahta pada usia enam belas tahun, sehingga pusat
kekuasaan dipegang oleh bibinya yang bernama Sitt al- Mulk. Sepeninggalan sang
bibi, al-Zahir menjadi raja boneka ditangan menteri- menterinya. Pada masa
pemerintahan ini rakyat menderita kekurangan bahan makanan dan harga barang
yang tidak terjangkau. Kondisi ini disebabkan terjadinya musibah banjir terus
menerus.
Kemudian al-Zahir
meninggal pada tahun 1036 M, kekhalifahan digantikan oleh anaknya Abu Tamim
Ma’ad yang bergelar al-Mustansir, pemerintahannya selama 61 tahun merupakan
masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Islam. Masa awal pemerintatahannya
berada sepenuhnya di tangan Ibunya, lantaran ketika dinobatkan sebagai khalifah
Ia baru berusia tujuh tahun. Pada masa ini kekuasaan Fatimiyah mengalami
kemunduran secara drastis, beberapa kali perebutan jabatan perdana menteri
turut memperlemah ketahanan imperium, disamping terjadinya sejumlah
pemberontakan dan peperangan selama pemerintahan ini. Selanjutnya, musibah
paceklik berlangsung selama tujuh tahun sehingga menghabiskan cadangan
perekonomian Negara. Demikian para musibah paceklik ini sehingga manusia saling
memakan satu sama lainnya. Setelah paceklik berakhir, Mesir diserang wabah
penyakit. Gadis- gadis kalangan atas dipaksa menjual perhiasan dan pakaian
mereka untuk dibelikan makanan hingga mereka turun ke jalan tanpa perhiasan dan
tanpa pakaian yang pantas. Untuk mengatasi musibah ini, khalifah al-Mustansir
meminta bantuan gubernur Acre yang bernama Badr al- Jamali. Gubernur berkenan
memberikan bantuan sehingga wabah ini dapat teratasi. [29]
Sepeninggalan
al-Mustansir pada tahun 1059 M. imperium Fatimiyah dilanda konflik dan
permusuhan. Tidak seorangpun khalifah sesudahnya mampu mengendalikan
kemesorotan imperium ini.
Putra termuda
al-Mustansir yang bergelar al- Musta’li menduduki tahta khalifah sepeninggalan
Sang ayah. Nizar putra al- Mustansir yang tertua, menentang penobatan adiknya.
Ia segera bangkit di Alexandria setelah memecat gubernur wilayah ini, namun
satu tahun kemudian Ia dapat dipaksa menyerah. Kemudian al- Musta’li meninggal
dan dinobatkanlah anaknya yang masih hijau bernama al- Amir Manshur dengan
gelar al-Amir menjadi khalifah. Pada saat itu Amir baru berusia lima tahun.[30]
Setelah al-
Amir menjadi korban pembunuhan politik, kemenakanya yang bernama al-Hafiz
memploklamirkan diri sebagai khalifah. Pemerintahan al- Hafiz ini diwarnai
dengan perpecahan antar unsur kemiliteran. Anaknya, Abul Manshur Ismail dengan
gelar al- Zafir, menggantikan kedudukannya setelah kematian al- Hafiz. Ia
adalah pemuda 17 tahun yang tampan dan sembrono yang lebih memikirkan urusan
perempuan dan musik dari pada urusan politik dan pertahanan. Segala urusan
Negara dijalankan oleh perdana menteri yang bernama Abul Hassan Ibn al-Salar,
sehingga sang khalifah sekedar sebagai symbol belaka. Al-Zafir meninggal pada
tahun 1154 M, terbunuh oleh Nasir Ibn Abbas.[31]
Anak al-zafir
yang masih berusia empat tahun menggantikan kedudukan ayahnya dengan bergelar
al-Faiz. Ia keburu meninggal dunia sebelum dewasa yakni pada usia sebelas tahun
dan digantikan oleh kemenakannya al-Adhid.[32]
Sewaktu naik tahta al-Adhid berusia sembilan tahun, Ia merupakan khalifah
keempat belas dan mengakhiri masa pemerintahan Fatimiyyah selama lebih kurang
dua setengan abad. Al- Adhid berusaha keras untuk menegakkan kedudukannya dari
serangan raja Yerussalem yang pada saat itu telah berada di gerbang kota Kairo.
Hingga Akhirnya pada masa pemerintahan Al-Adhid, seorang perintis berdirinya
Dinasti Ayyubiyah yakni Salahuddin Al-Ayyubi menjabat sebagai perdana mentri
pada Dinasti Fatimiyah. Setelah Salahuddin menjadi perdana menteri , Ia mulai
merencanakan untuk mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah. Pada
mulanya, Ia membagi-bagikan wilayah kepada saudara-saudaranya. Akan tetapi
sikap ini diketahui oleh keluarga istana. Di bawah pimpinan Muktamun dan
kawan-kawannya merencanakan untuk membunuh Salahuddin, namun rencana ini cepat
diketahui oleh Salahuddin sehingga Muktaman terbunuh oleh orang-orang
Salahuddin.[33]
Kemudian
setelah yakin bahwa kekuasaannya sudah kuat, Salahuddin mengerahkan
perhatiannya untuk melenyapkan ajaran Syi’ah di Mesir. Untuk itu, Ia mendirikan
dua buah madrasah. Satu madrasah disediakan untuk mengajarkan dan
menyebarluaskan mazhab Syafi’I dan yang lain untuk mazhab Maliki. Dengan
demikian mazhab Sunni menjadi lebih kuat kembali, sementara Syi’ah Ismailiyah
beransur-ansur hilang dan pendukungnya menjadi kurang. Penyebutan nama khalifah
Al- Adhid sudah mulai ditinggalkan.
Al- Adhid mulai
sakit-sakitan dan mengirimnya pada pintu kematian pada tahun 567 H/ 1171 M.
Dengan demikian, Salahuddin dapat menguasai istana dengan segala hartanya yang
melimpah. Dinasti Fatimiyah diganti menjadi Dinasti Ayyubiyah, sejak itu ajaran
Sunni kembali hidup menggantikan ajaran Syi’ah.[34]
Menurut Maidir
Harun dan Firdaus, dihancurkan Dinasti Fathimiyyah oleh Dinasti Ayyubiyah pada
tahun 1171 M disebabkan oleh beberapa
faktor.[35]
a.
Faktor internal
1)
Heterogennya agama sehingga sering terjadi konflik antar agama
2)
Meliter yang terjadi dari beberapa suku yang menyebabkan terjadinya
persaingan, yakni antara suku Maghribi, Sudan dan Turki.
3)
Khalifah sudah tidak mampu lagi menguasai militer dan wazir, karena
khalifahnya sudah lemah
4)
Terjandinya perebutan kekuasaan antara khalifah dengan wazir, dan
antara wazir-wazir, sehingga wazir dapat menguasai khalifah
5)
Terjadinya kemarau yang panjang pada masa Al-Mustansir (1036-1094
M), seta berjangkitan penyakit menular
6)
Kehidupan di instana yang bermewah-mewah sementara rakyat menderita karena kelaparan
7)
Tidak adanya kaderisasi
b.
Faktor eksternal
1)
Masuknya pasukan Salib ke Suriah dan Mesir
2)
Munculnya Dinasti Ayyubiyah yang bermazhab Sunni, dipimpin oleh
Salahuddin Al-Ayubi.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dinasti yang muncul pada tahun 909 M bernama Dinasti Fatimiyah. Awal
muncul nama Dinasti Fatimiyah karena Ubaydillah sebagai pendiri dinasti ini
mengeklaim dirinya keturunan Fatimah binti Rasulullah. Hal ini dilakukan karena
khalifah adalah keturunan yang paling dekat dengan Rasulullah, maka Ia mengkaim
dirinya keturunan Fatimah karena Fatimah adalah anak Rasulullah. Dinasti ini
didirikan di Tunisia setelah Dinasti Aglabiyah tiada.
Lalu Dinasti Fatimiyah mengalami kemajuan pada masa Khalifah Mu’izz
Lidinillah dan puncak kejayaannya pada masa Khalifah Al-Aziz. Hal ini tampak
pada kemajuan dari berbagai bidang, seperti bidang pemerintahan, keilmuan dan
kesusastraan, ekonomi, sosial dan filasafat.
Sedangkan keruntuhan dinasti ini terjadi sejak kekhalifahan dijabat
oleh Al-Hakim dan berakhir pada kekhalifahan Al-Adhid sebagai khalifah yang
keempat belas tepatnya pada tahun 1171 M.
2.
Kririk dan Saran
Demikianlah
pembahasan tentang Perkembangan Peradaban pada Masa Dinasti Fatimiyah ( 909-
1172 M) dalam makalah ini, penulis berharap adanya kritikan dan saran yang
bersifat konstruktif dari para pembaca untuk tercapainya kesempurnaan dalam
penulisan dan pembahasan makalah ini.
Daftar Pustaka
Amin, Ahmad, t.t, Dhuhal al-Islam, Jilid I, Kairo : Lajnah Ta’lif wa al-Sayr
Ali, K. 2003, Sejarah Islam ( Tarikh Pramodern), Jakarta :
PT Grafindo Persada
Harun, Maidir, Firdaus, 2002, Sejarah Peradaban Islam, Jilid
II, Padang : IAIN-IB Press
Hasan, Ilyas, 1993, Dinasti- Dinasti Islam, Bandung : Mizan
K. Philip, Hitti, 2005, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep
Lukman Yasin, Dedi Slamet Riyadi, Jakarta : PT. Serambi Ilmu semesta
Mufrodi,Ali, 1997, Islam
Di Kawasan Kebudayaan Arab, Ciputat
: Logos Wacana Ilmu
Mansyur , M. Amin, 2004, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Indonesia Spirit Poundation
Ibrahim , Hasan Hasan, 1993, Tarikh al-Daulah al- Fathimiyah,
Mesir : Maktabah Nahdobah
Sa’ad, Abu, 2003, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya
Dala Peradaban Umat Manusia, Jakarta
: PT Rineka Cipta
Thohir, Ajid, 2004, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia
Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada
Yatim,Badri, 2006, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
[1] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman
Yasin, Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta : PT. Serambi Ilmu semesta, 2005), hlm.
787-788
[2] Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, Jilid II (
Padang : IAIN-IB Press, 2002), hlm. 79-80
[3] Ibid
[4] K. Ali, Sejarah Islam ( Tarikh Pramodern), ( Jakarta : PT
Grafindo Persada, 2003), cet-4, hlm. 489
[5] Ilyas Hasan, Dinasti- Dinasti Islam, (Bandung : Mizan,
1993), hlm. 70-71
[6] Philip K. Hitti, Op.Cit. 795
[7] M. Mansyur Amin, Sejarah Peradaban Islam, ( Bandung :
Indonesia Spirit Poundation, 2004), hlm. 128
[8] Ali Mufrodi, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, ( Ciputat :
Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 116-117
[9] K. Ali, Op.Cit. 491-492
[10] Ilyas Hasan, Op. Cit. 70-71
[11] K. Ali, Op.Cit. 494-495
[12] Maidir harun. 81-81
[13] K. Ali, Op.Cit.
496-497
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, ( Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006), hlm. 282
[15] Philip K. Hitti,Op. Cit.114
[16] Maidir Harun, Firdaus. Op Cit. 84
[17] Ilyas Hasan, Op.Cit. 72
[19] M. Mansyur Amin, Op. Cit. 127
[20] K. Ali. Lot. Cit. 499-501
[21] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban Di Kawasan Dunia Islam,
( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 115-119
[22] Ahmad Amin, Dhuhal al-Islam, Jilid I, ( Kairo : Lajnah
Ta’lif wa al-Sayr, t.t), hlm. 188
[23] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Daulah al- Fathimiyah, (
Mesir : Maktabah Nahdobah, 1993), hlm. 465-501
[24] K. Ali. Lot. Cit. 501
[25] Ajid Tohir, Op. Cit. 119
[26] K. Ali. Op. Cit. 501
[27] Abu Sa’ad, Islamologi Sejarah, Ajaran, dan Peranannya Dala
Peradaban Umat Manusia, ( Jakarta : PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 92
[28] Badri Yatim, Op. Cit
283
[29] K. Ali. Lot. Cit. 504- 506
[30] Philip K. Hitti, Op.Cit. 795
[31] Ibid
[32] Philip K. Hitti, Op. Cit, 796
[33] Maidir Harun, 88-89
[34] Ibid
[35] Maidir Harun, 85-86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar